visitor

Kamis, 16 Mei 2013

Safonifikasi



LAPORAN PRAKTIKUM

 REAKSI SAPONIFIKASI
“PEMBUATAN SABUN DAN PELEMBUT”

OLEH
KELOMPOK VI
KELAS A

Jhon Alperdo H.S.                ( 1207136350 )
Lukman Arifin                     ( 1207121229 )
Rahmawati                            ( 1207121230 )


JURUSAN TEKNIK KIMIA
 FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2013



LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING


LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK
Laporan ini telah diperiksa dan dinilai oleh dosen pembimbing
Praktikum Kimia Organik

Disusun oleh:

Jhon Alperdo H.S.                           ( 1207136350 )
Lukman Arifin                                ( 1207121229 )
Rahmawati                                       ( 1207121230 )




Pekanbaru, 26 April 2013

Menyetujui

          Asisten                                                                Dosen Pembimbing



     Jonny Miharyono                                                     Drs. Irdoni, HS. MS
                                                                              NIP : 195704151986091001



ABSTRAK
Sabun adalah suatu bentuk senyawa yang dihasilkan dari reaksi safonifikasi. Reaksi safonifikasi adalah reaksi hidrolisis asam lemak karena adanya basa misalnya NaOH. Di dalam sabun terdapat struktur bipolar, bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor bersifat hidrofobik. Tujuan praktikum ini adalah membuat dan memahami reaksi penyabunan pada proses pembuatan sabun di laboratorium dan menjelaskan beberapa sifat sabun berdasarkan percobaan yang dilakukan. Pada praktikum ini kami membuat 2 jenis sabun dan pelembut. Pembuatan sabun 1 dilakukan dengan cara mencampurkan 81,5 ml minyak kelapa dengan 162,5 ml minyak ikan patin kemudian ditambahkan larutan NaOH yang dibuat dari 37,5 gram NaOH dan 85 ml air suling. Campuran ini lalu dipanaskan di rentang suhu 70-80oC sambil diaduk kemudian ditambahkan 75 ml etanol. Pembuatan sabun 2 menggunakan 200 mL lemak ikan patin yang dicampur dengan larutan NaOH dari 35 gram dan air suling bervolume 175 mL yang dipanaskan pada suhu 60-70oC. Pembuatan pelembut menggunakan 500 mL  asam cuka dan 50 gram soda kue yang dicampurkan dengan gliserin sebanyak 40mL. Untuk pengujian sifat sabun digunakan kerosen, kalsium sulfat dan indikator phenofthalein. Pada penambahan indicator phenofthalein, campuran sabun berubah warna menjadi warna ungu.

Kata kunci : Hidrofilik, Lipofilik, Sabun, Safonifikasi, Surfaktan


ABSTRACT
Soap is a form of compounds produced from the reaction of safonifikasi. Safonifikasi reaction is the hydrolysis of the fatty acids due to base such as NaOH.  In soap there is bipolar structure, the heads are hydrophilic and the tail is hydrophobic. The purpose of this is to create practical and understand the reaction of the penyabunan on the process of making soap in a lab and explain some of the properties of soap based on experiments conducted. In this practical work, we make two types of soap and softener. Soap making 1 done by mixing the 81,5 ml coconut oil with 162,5 ml fish oil then add NaOH catfish made 37.5 grams of NaOH and 85 ml distilled water. This mixture is then heated in the temperature range 70-80oC while stir then add 75 ml of ethanol. Soap making 2 use 200 mL of fish fat catfish which is mixed with a solution of NaOH from 35 grams and volume 175 mL distilled water that is heated at a temperature of 60-70oC. The making of softener use 500 mL vinegar and 50 grams of baking soda are mixed with glycerin as much as 40mL. For testing the nature of soap used kerosen, calcium sulfate and phenofthalein indicators. In addition, the mixture of soap phenofthalein indicator changes color into the color purple.

Keywords: Hidrofilik, Lipofilik, Soap, Safonifikasi, Surfaktan




BAB I

PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang                              
Sabun merupakan suatu kebutuhan pokok manusia yang selalu digunakan sehari-hari. Fungsi utama dari sabun adalah membersihkan. Dilingkungan sekitar, banyak macam wujud sabun yang dapat ditemui, baik yang dalam bentuk cair, lunak, krim, maupun yang padat. Kegunaannya pun beragam, ada yang sebagai sabun mandi, sabun cuci sabun tangan, sabun cuci peralatan rumah tangga dan lain sebagainya (Herbamart,2011).
Sabun dibuat dari proses saponifikasi lemak hewan (tallow) dan dari minyak. Gugus induk lemak disebut fatty acids yang terdiri dari rantai hidrokarbon panjang (C12 sampai C18) yang berikatan membentuk gugus karboksil. Asam lemak rantai pendek jarang digunakan karena menghasilkan sedikit busa. Reaksi saponifikasi tidak lain adalah hidrolisis basa suatu ester dengan alkali (NaOH/KOH). Range atom C diatas mempengaruhi sifat-sifat sabun seperti kelarutan, proses emulsi dan pembasahan. Sabun murni terdiri dari 95% sabun aktif dan sisanya adalah air, gliserin, garam dan kemurnian lainnya. Semua minyak atau lemak pada dasarnya dapat digunakan untuk membuat sabun. Lemak merupakan campuran ester yang dibuat dari alkohol dan asam karboksilat seperti asam stearat, asam oleat dan asam palmitat. Lemak padat mengandung ester dari gliserol dan asam palmitat, sedangkan minyak, seperti minyak zaitun mengandung ester dari gliserol asam oleat (Fessenden, 1982).
Sabun termasuk salah satu jenis surfaktan yang terbuat dari minyak atau lemak alami. Surfaktan mempunyai struktur bipolar. Bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor bersifat hidrofobik. Karena sifat inilah sabun mampu mengangkat kotoran (biasanya lemak) dari badan dan pakaian. Selain itu, pada larutan, surfaktan akan menggerombol membentuk misel setelah melewati konsentrasi tertentu yang disebut konsentrasi kritik misel. Sabun juga mengandung sekitar 25% gliserin. Gliserin bisa melembabkan dan melembutkan kulit, menyejukan dan meminyaki sel-sel kulit juga. Oleh karena itu dilakukan percobaan pembuatan sabun dan pengujian terhadap sifat-sifat sabun, sehingga akan didapat sabun yang berkualitas (Levenspiel, 1972).
Molekul sabun mempunyai rantai hidrogen CH3(CH2)16 yang bertindak sebagai ekor yang bersifat hidrofobik (tidak suka ait) dan larut dalam zat organik sedangkan COONa+ sebagai kepala yang bersifat hidrofilik (suka air) dan larut dalam air. Dalam proses pencucian, lapisan minyak sebagai pengotor akan tertarik oleh ujung lipofilik sabun, kemudian kotoran yang telah terikat dalam air pencuci karena ujung yang lain (hidrofilik) dari sabun larut dalam air (Herbamart, 2011).
Melalui percobaan ini, kita dapat mengetahui dan mempelajari bagaimana reaksi saponifikasi/penyabunan pada proses pembuatan sabun serta membuat sabun dalam skala laboratorium. Selain itu, kita juga dapat mengetahui beberapa sifat sabun yang telah dihasilkan dari percobaan (Irdoni dan Nirwana, 2013).
1.2       Tujuan Percobaan
a.       Membuat dan memahami reaksi penyabunan pada proses pembuatan sabun di laboratorium.
b.      Menjelaskan beberapa sifat sabun berdasarkan percobaan yang dilakukan.


BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Sabun
2.1.1 Sejarah Sabun
Sejarah sabun mandi pertama diketahui sejak abad ke 12 dan mulai dikembangkan pada abad ke 17 oleh orang-orang inggris menggunakan soda abu, pada awalnya orang mengenal bahan pembersih alami yang ada disekitar tempat tinggal seperti air, lumpur, abu, batu apung dan lain-lain dengan kemampuan yang tidak maksimal untuk membersihkan kotoran karena hanya bisa menghilangkan kotoran diluar (Herbamart, 2011).
Dibeberapa Negara seperti maroko penggunaan lumpur untuk membersihkan badan sudah menjadi sebuah tradisi dikalangan bangsawan untuk merawat kesehatan dan kehalusan kulit serta menjaga kulit tetap kencang dan awet muda, salah satu produk ini masih digunakan dan beredar diklinik-klinik perawatan kecantikan dengan nama ghassoul sebagai masker dan lulur mandi serta rambut lumpur. Orang Yunani kuno menggunakan lilin untuk membersihkan tubuh dan mengolesi minyak serta mencuci pakaian mereka hanya cukup dengan air di sungai tanpa sabun (Herbamart, 2011).
Dikalangan masyarakat Indonesia sendiri nenek moyang kita sudah menggunakan sabun alami untuk membersihkan badan dan pakaian menggunakan produk nabati dari cairan buah klerak dan sudah tak praktekan sendiri memang bisa membersihkan kotoran untuk mandi (Herbamart, 2011).
Sebagaimana dalam sejarah perkembangannya sabun mulai diproduksi secara besar-besaran sekitar tahun 1622, di amerika produk sabun mulai memasyarakat sejak kedatangan pendatang dari inggris yang bisa membuat sabun dan pada masa sebelum itu sabun merupakan produk mewah yang menghasilkan pajak bagi pemerintah inggris pada masa pemerintahan raja james 1 pada abad ke 19 dan setelah pajak dihapuskan, sabun menjadi lebih banyak digunakan masyarakat kelas bawah (Herbamart, 2011).
Produksi sabun skala komersial terjadi pada tahun 1791 sejak kimiawan dari Prancis mematenkan produk soda abu sebagai bahan baku utama sabun mandi. Saat ini banyak produk sabun yang beredar di pasaran yang masih menggunakan soda abu dan beberapa produsen menggunakan bahan alternative selain soda abu untuk menghemat biaya dan ramah lingkungan serta aman bagi kulit seperti KOH, SLS, ABS, dan lain-lain (Herbamart, 2011).
Produk-produk tambahan dalam sabun tersebut ada yang sudah dilarang penggunaanya di luar negeri seperti ABS yang tidak mudah terurai oleh bakteri pengurai, sebagian produsen sabun juga masih menggunakan soda abu atau soda api/kaustik soda untuk menghemat biaya akan tetapi produk ini menyebabkan kulit menjadi mengelupas dan perih jika mengenai kulit yang sensitive, untuk mengujinya Anda bisa mengusapkan ke wajah dan biarkan beberapa menit, jika merasa perih bisa jadi bahan baku sabun tersebut menggunakan kaustik soda, hal ini jarang terjadi terhadap produk sabun herbal karena sabun herbal selain menggunakan bahan pilihan juga banyak mengandung herbal yang mampu merawat kulit dan memberi kelembaban seperti minyak zaitun dan lain-lain (Herbamart, 2011).
2.1.2. Pengertian Sabun
Sabun adalah senyawa kimia yang dihasilkan dari reaksi lemak atau minyak dengan Alkali. Sabun juga merupakan garam-garam Monofalen dari Asam Karboksilat dengan rumus umumnya RCOOM, R adalah rantai lurus (alifatik) panjang dengan jumlah atom C bervariasi, yaitu antara C12-C18 dan M adalah kation dari kelompok alkali atau ion ammonium (Diah Pramushinta, 2011).
Sabun adalah surfaktan yang digunakan dengan air untuk mencuci dan membersihkan. Sabun biasanya berbentuk padatan tercetak yang disebut batang karena sejarah dan bentuk umumnya. Penggunaan sabun cair juga telah telah meluas, terutama pada sarana-sarana publik. Jika diterapkan pada suatu permukaan, air bersabun secara efektif mengikat partikel dalam suspensi mudah dibawa oleh air bersih. Di negara berkembang, deterjen sintetik telah menggantikan sabun sebagai alat bantu mencuci atau membersihkan (Anonim,2013).
Banyak sabun merupakan campuran garam natrium atau kalium dari asam lemak yang dapat diturunkan dari minyak atau lemak dengan direaksikan dengan alkali (seperti natrium atau kalium hidroksida) pada suhu 80–100 °C melalui suatu proses yang dikenal dengan saponifikasi. Lemak akan terhidrolisis oleh basa, menghasilkan gliserol dan sabun mentah. Secara tradisional, alkali yang digunakan adalah kalium yang dihasilkan dari pembakaran tumbuhan, atau dari arang kayu. Sabun dapat dibuat pula dari minyak tumbuhan, seperti minyak zaitun (Ralph J. Fessenden, 1992).
Sifat sifat fisik sabun yang perlu diketahui oleh design engineer dan kimiawi adalah sebagai berikut menurut (Diah Pramushinta, 2011) :
1.Viskositas
Setelah minyak atau lemak disaponifikasi dengan alkali, maka akan dihasilkan sabun yang memiliki viskositas yang lebih besar dari pada minyak atau alkali. Pada suhu di atas 75oC viskositas sabun tidak dapat meningkat secara signifikan, tapi di bawah suhu 75oC viskositasnya dapat meningkatkan secara cepat. Viskositas sabun tergantung pada temperature sabun dan komposisi lemak atau minyak yang dicampurkan.
2. Panas Jenis
Panas jenis sabun adalah 0,56 Kal/g.                 
3.Densitas
Densitas sabun murni berada pada range 0,96g/ml – 0,99g/ml.
2.2  Sifat – Sifat Sabun
  1. Sabun bersifat basa. Sabun adalah garam alkali dari asam lemak suku tinggi sehingga akan dihidrolisis parsial oleh air. Karena itu larutan sabun dalam air bersifat basa.
CH3(CH2)16COONa + H2O → CH3(CH2)16COOH + NaOH
  1. Sabun menghasilkan buih atau busa. Jika larutan sabun dalam air diaduk maka akan menghasilkan buih, peristiwa ini tidak akan terjadi pada air sadah. Dalam hal ini sabun dapat menghasilkan buih setelah garam-garam Mg atau Ca dalam air mengendap.
CH3(CH2)16COONa + CaSO4 →Na2SO4 + Ca(CH3(CH2)16COO)2

  1. Sabun mempunyai sifat membersihkan. Sifat ini disebabkan proses kimia koloid, sabun (garam natrium dari asam lemak) digunakan untuk mencuci kotoran yang bersifat polar maupun non polar, karena sabun mempunyai gugus polar dan non polar. Molekul sabun mempunyai rantai hydrogen CH3(CH2)16 yang bertindak sebagai ekor yang bersifat hidrofobik (tidak suka air) dan larut dalam zat organic sedangkan COONa+ sebagai kepala yang bersifat hidrofilik (suka air) dan larut dalam air (Vii afida, 2012).

Berikut merupakan proses penghilangan kotoran menurut (Vii afida, 2012):
1.      Sabun didalam air menghasilkan busa yang akan menurunkan tegangan permukaan sehingga aii kain sehingga kain menjadi bersih. meresap lebih cepat kepermukaan kain.
2.      Molekul sabun akan mengelilingi kotoran dengan ekornya dan mengikat molekul kotoran. Proses ini disebut emulsifikasi karena antara molekul kotoran dan molekul sabun membentuk suatu emulsi.
3.      Sedangkan bagian kepala molekul sabun didalam air pada saat pembilasan menarik molekul kotoran keluar dari kain sehingga kain menjadi bersih.



       

Gambar 2.1 Pengangakatan Kotoran (Vii afida, 2012)
2.3 Bahan Dasar Pembuatan Sabun
Secara teoritis semua minyak atau lemak dapat digunakan untuk membuat sabun. Meskipun demikian, ada beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam memilih bahan mentah untuk membuat sabun. Beberapa bahan yang dapat digunakan dalam pembuatan sabun antara lain (Diah Pramushinta, 2011) :
2.3.1 Minyak atau Lemak
Minyak atau lemak merupakan senyawa lipid yang memiliki struktur berupa ester dari gliserol. Pada proses pembuatan sabun, jenis minyak atau lemak yang digunakan adalah minyak nabati atau lemak hewan. Perbedaan antara minyak dan lemak adalah wujud keduanya dalam keadaan ruang. Minyak akan berwujud cair pada temperatur ruang (± 28°C), sedangkan lemak akan berwujud padat (Vii afida, 2012).
Jumlah minyak atau lemak yang digunakan dalam proses pembuatan sabun harus dibatasi karena berbagai alasan, seperti : kelayakan ekonomi, spesifikasi produk (sabun tidak mudah teroksidasi, mudah berbusa, dan mudah larut), dan lain-lain. Beberapa jenis minyak atau lemak yang biasa dipakai dalam proses pembuatan sabun di antaranya (Irdoni dan Nirwana, 2013) :
1.      Tallow ( Lemak Sapi )
Tallow adalah lemak sapi atau domba yang dihasilkan oleh industri pengolahan daging  sebagai hasil samping. Tallow dengan kualitas baik biasanya digunakan dalam pembuatan sabun mandi dan tallow dengan kualitas rendah digunakan dalam pembuatan sabun cuci. Oleat dan stearat adalah asam lemak yang paling banyak terdapat dalam tallow. Jumlah FFA dari tallow berkisar antara 0,75-7,0 %. Titer point pada tallow umumnya di atas 40°C. Tallow dengan titer point di bawah 40°C dikenal dengan nama grease. Kandungan utama dari tallow yaitu : asam oleat 40-45%, asam palmitat 24-37%, asam stearat 14-19%, asam miristat 2-8%, asam linoleat 3-4%, dan asam laurat 0,2%.
2.      Lard ( Lemak Babi )
Lard merupakan minyak babi yang masih banyak mengandung asam lemak tak jenuh seperti asam oleat (60-65%) dan asam lemak jenuh seperti asam stearat (35-40%). Jika digunakan sebagai pengganti tallow, lard harus dihidrogenasi parsial terlebih dahulu untuk mengurangi ketidakjenuhannya. Sabun yang dihasilkan dari lard berwarna putih dan mudah berbusa.

3. Palm Oil ( Minyak Sawit )
Minyak sawit berwarna jingga kemerahan karena adanya kandungan zat warna karotenoid sehingga jika akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun harus dipucatkan terlebih dahulu. Sabun yang terbuat dari 100% minyak sawit akan bersifat keras dan sulit berbusa. Maka dari itu, jika akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun, minyak sawit harus dicampur dengan bahan lainnya. Kandungan asam lemaknya yaitu asam palmitat 42-44%, asam oleat 35-40%, asam linoleat 10%, asam linolenat 0,3%, asam arachidonat 0,3%, asam laurat 0,3%, dan asam miristat 0,5-1%.
4.Coconut Oil ( Minyak Kelapa )
Minyak kelapa  merupakan minyak nabati yang sering digunakan dalam industri pembuatan sabun. Minyak kelapa berwarna kuning pucat dan diperoleh melalui ekstraksi daging buah yang dikeringkan (kopra). Minyak kelapa memiliki kandungan asam lemak jenuh yang tinggi, terutama asam laurat sekitar 44-52%, sehingga minyak kelapa tahan terhadap oksidasi yang menimbulkan bau tengik.
5. Palm Kernel Oil ( Minyak Inti Sawit )
Minyak inti sawit diperoleh dari biji buah sawit. Minyak inti sawit memiliki kandungan asam lemak yang mirip dengan minyak kelapa sehingga dapat digunakan sebagai pengganti minyak kelapa. Minyak inti sawit memiliki kandungan asam lemak tak jenuh lebih tinggi dan asam lemak rantai pendek lebih rendah daripada minyak kelapa. Kandungan asam lemak yang terdapat pada palm kernel oil yaitu : asam laurat 40-52%, asam miristat 14-18%, asam oleat 11-19%, asam palmitat 7-9%, asam kaprat 3-7%, asam kaprilat 3-5%, asam stearat 1-3%, dan asam linoleat 2%.
6. Palm Oil Stearine ( Minyak Sawit Stearin )
Minyak sawit stearin adalah minyak yang dihasilkan dari ekstraksi asam-asam lemak dari minyak sawit dengan pelarut aseton dan heksana. Kandungan asam lemak terbesar dalam minyak ini adalah asam palmitat 52-58% dan asam oleat 27-32%. Selain itu juga terdapat asam linoleat 6,6-8,2%, asam stearat 4,8-5,3%, asam miristat 1,2-1,3%, asam laurat 0,1- 0,4%
7. Marine Oil
Marine oil berasal dari mamalia laut (paus) dan ikan laut. Marine oil memiliki kandungan asam lemak tak jenuh (asam oleat) yang cukup tinggi, sehingga harus dihidrogenasi parsial terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai bahan baku.
8. Castor Oil ( Minyak Jarak )
Minyak jarak berwarna bening dan dapat dimanfaatkan sebagai kosmetika, bahan baku pembuatan biodisel dan sabun. Minyak jarak mempunyai massa jenis 0,957-0,963 kg/liter, bilangan iodium 82-88 g I2/100 g, bilangan penyabunan 176-181 mg KOH/g. Minyak jarak mengandung komponen gliserida atau dikenal sebagai senyawa ester. Komposisi asam lemak minyak jarak terdiri dari asam riccinoleat sebanyak 86%, asam oleat 8,5%, asam linoleat 3,5%, asam stearat 0,5-2,0%, asam dihidroksi stearat 1-2% (G. Brown, 1973).
    9. Olive Oil ( Minyak Zaitun )
Minyak zaitun berasal dari ekstraksi buah zaitun. Minyak zaitun dengan kualitas tinggi memiliki warna kekuningan. Sabun yang berasal dari minyak zaitun memiliki sifat yang keras tapi lembut bagi kulit. Zaitun secara alami mengandung beberapa senyawa yang tak tersabunkan seperti fenol, tokoferol, sterol, pigmen, dan squalen. Minyak zaitun juga mengandung triasil gliserol yang sebagian besar di antaranya berupa asam lemak tidak jenuh tunggal jenis oleat. Kandungan asam oleat tersebut dapat mencapai 55-83 persen dari total asam lemak dalam minyak zaitun.
10. Campuran Minyak dan Lemak
Industri pembuat sabun umumnya membuat sabun yang berasal dari campuran minyak dan lemak yang berbeda. Minyak kelapa sering dicampur dengan tallow karena memiliki sifat yang saling melengkapi. Minyak kelapa memiliki kandungan asam laurat dan miristat yang tinggi dan dapat membuat sabun mudah larut dan berbusa. Kandungan stearat dan dan palmitat yang tinggi dari tallow akan memperkeras struktur sabun.
2.3.2 Alkali
Jenis alkali yang umum digunakan dalam proses saponifikasi adalah NaOH, KOH, Na2CO3, NH4OH, dan ethanolamines (sinonim: 2-Aminoethanol, monoethanolamine, dengan rumus kimia C2H7NO, dan formulasi kimia NH2CH2CH2OH). NaOH, atau yang biasa dikenal dengan soda kaustik dalam industri sabun, merupakan alkali yang paling banyak digunakan dalam pembuatan sabun keras. KOH banyak digunakan dalam pembuatan sabun cair karena sifatnya yang mudah larut dalam air. Na2CO3 (abu soda/natrium karbonat) merupakan alkali yang murah dan dapat menyabunkan asam lemak, tetapi tidak dapat menyabunkan trigliserida dari minyak atau lemak (Ketaren, 1986).
2.4 Bahan Pendukung
Bahan baku pendukung digunakan untuk membantu proses penyempurnaan sabun hasil saponifikasi (pegendapan sabun dan pengambilan gliserin) sampai sabun menjadi produk yang siap dipasarkan. Bahan-bahan tersebut adalah NaCl (garam) dan bahan-bahan aditif (Rudianto, 2007).
1.     Garam ( NaCl )
NaCl merupakan komponen kunci dalam proses pembuatan sabun. Kandungan NaCl pada produk akhir sangat kecil karena kandungan NaCl yang terlalu tinggi di dalam sabun dapat memperkeras struktur sabun. NaCl yang digunakan umumnya berbentuk air garam (brine) atau padatan (kristal). NaCl digunakan untuk memisahkan produk sabun dan gliserin. Gliserin tidak mengalami pengendapan dalam brine karena kelarutannya yang tinggi, sedangkan sabun akan mengendap. NaCl harus bebas dari besi, kalsium, dan magnesium agar diperoleh sabun yang berkualitas (Rudianto, 2007)
2.     Bahan Aditif
Bahan aditif merupakan bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam sabun yang bertujuan untuk mempertinggi kualitas produk sabun sehingga menarik konsumen. Bahan-bahan aditif tersebut antara lain: builders, fillers inert, antioksidan, pewarna,dan parfum.
a. Builders (Bahan Pembentuk / Penguat)
Builders digunakan untuk melunakkan air sadah dengan cara mengikat mineral mineral yang terlarut pada air, sehingga bahan bahan lain yang berfungsi untuk mengikat lemak dan membasahi permukaan dapat berkonsentrasi pada fungsi utamanya. Builder juga membantu menciptakan kondisi keasaman yang tepat agar proses pembersihan dapat berlangsung lebih baik serta membantu mendispersikan dan mensuspensikan kotoran yang telah lepas (Rudianto, 2007).
b. Filler (Bahan Pengisi)
Filler (bahan pengisi) ini berfungsi sebagai pengisi dari seluruh campuran bahan baku. Pemberian bahan ini berguna untuk memperbanyak atau memperbesar volume. Keberadaan bahan ini dalam campuran bahan baku sabun semata mata ditinjau dari aspekekonomis. Pada umumnya, sebagai bahan pengisi sabun digunakan sodium sulfat. Bahan lain yang sering digunakan sebagai bahan pengisi, yaitu tetra sodium pyrophosphate dan sodium sitrat. Bahan pengisi ini berwarna putih, berbentuk bubuk, dan mudah larut dalam air (Rudianto, 2007).
c.  Bahan Antioksidan
Bahan antioksidan pada sabun juga dapat menstabilkan sabun terutama pada bau tengik atau rancid. Natrium Silikat, natrium hiposulfid, dan natrium tiosulfat diketahui dapat digunakan sebagai antioksidan. Stanous klorida juga merupakan antioksidan yang sangat kuat dan juga dapat memutihkan sabun atau sebagai bleaching agent (Perdana, F.K, 2009).
d.   Bahan Pewarna (Coloring Agent)
Bahan ini berfungsi untuk memberikan warna kepada sabun. Ini ditujukan agar memberikan efek yang menarik bagi konsumen untuk mencoba sabun ataupun membeli sabun dengan warna yang menarik. Biasanya warna warna sabun itu terdiri dari warna merah, putih, hijau maupun orange (Rudianto, 2007).
e.  Bahan Pewangi (fragrances)
Parfum termasuk bahan pendukung. Keberadaaan parfum memegang peranan besar dalam hal keterkaitan konsumen akan produk sabun. Artinya, walaupun secara kualitas sabun yang ditawarkan bagus, tetapi bila salah memberi parfum akan berakibat fatal. Beberapa nama parfum yang digunakan dalam pembuatan sabun diantaranya bouquct deep water, alpine, dan spring flower (Rudianto,2007).
2.5    Karakteristik Bahan Baku Pembuatan Sabun
Ada beberapa karakteristik yang perlu diperhatikan dalam memilih bahan dasar pembuatan sabun, diantaranya (Diah Pramushinta, 2011) :

a.    Warna
Lemak dan minyak yang berwarna terang merupakan minyak yang bagus untuk digunakan sebagai bahan pembuatan sabun.
b.   Angka Penyabunan
Angka Saponifikasi adalah angka yang terdapat pada milligram kalium hidroksida yang digunakan dalam proses saponifikasi sempurna pada satu gram minyak. Angka saponifikasi digunakan untuk menghitung alkali yang dibutuhkan dalam saponifikasi secara sempurna pada lemak atau minyak.
c.    Bilangan Iod
Bilangan iod digunakan untuk menghitung ketidakjenuhan minyak atau lemak, semakin besar angka iod, maka asam lemak tersebut semakin tidak jenuh. Dalam pencampurannya, bilangan iod menjadi sangat penting yaitu untuk mengidentifikasi ketahanan sabun pada suhu tertentu.
2.6 Sulfaktan
      Surfaktan adalah senyawa yang molekul-molekulnya mempunyai dua ujung yang berbeda interaksinya dengan air, yakni ujung satu (biasa disebut kepala) yang suka air dan ujung satunya (yang disebut ekor) yang tidak suka air (Rieger, 2010).
Keberadaan kedua gugus dalam struktur surfaktan biasa diistilahkan “kepala” dan “ekor”. Gugus polar biasa disebut kepala dan ekornya adalah gugus non polar. Filosofinya karena gugus non polarnya berupa rantai panjang sehingga biasa diibaratkan ekor. Sedangkan gugus polarnya hanya gugus karboksilat sehingga diibaratkan kepala (Rieger, 2010).

Gambar 2.2 Bentuk Surfaktan (Rieger, 2010).
         Surfaktan dapat digolongkan menjadi dua golongan besar berdasarkan kelarutannya, yaitu surfaktan yang larut dalam minyak dan surfaktan yang larut dalam air (Rieger, 2010).
1.   Surfaktan yang larut dalam minyak
Ada tiga yang termasuk dalam golongan ini, yaitu senyawa polar berantai panjang, senyawa fluorokarbon, dan senyawa silikon.
2.  Surfaktan yang larut dalam air
Golongan ini banyak digunakan antara lain sebagai zat pembasah, zat pembusa, zat pengemulsi, zat anti busa, detergen, zat flotasi, pencegah korosi, dan lain-lain. Ada empat yang termasuk dalam golongan ini, yaitu surfaktan anion yang bermuatan negatif, surfaktan yang bermuatan positif, surfaktan nonion yang tak terionisasi dalam larutan, dan surfaktan amfoter yang bermuatan negatif dan positif  bergantung pada pH-nya.
Berdasarkan muatannya terdapat empat kategori surfaktan yaitu (Vii afida, 2012) :
a.  Surfaktan Anionik
Surfaktan anionik merupakan surfaktan yang dapat membentuk ion negatif atau anion. Contohnya adalah Alkyl Benzene Sulfonate (ABS), Linier Alkyl Benzene Sulfonate (LAS), Alpha Olein Sulfonate (AOS).
b.  Surfaktan Kationik
Surfaktan kationik merupakan surfaktan yang dapat membentuk ion positif atau kation. Contohnya adalah garam amonium.
c.  Surfaktan Non ionic
Surfaktan non ionik merupakan surfaktan yang tidak membentuk ion negatif maupun positif sehingga bersifat netral. Contohnya adalah Nonyl Phenol Polyethoxyle.
d. Amfoter
Surfaktan amfoter merupakan surfaktan yang dapat membentuk ion positif maupun negatif. Contohnya adalah Acyl Ethylenediamines.
Berdasarkan struktur kimianya, surfaktan dapat dibagi sebagai berikut (Vii afida, 2012) :
a.  Sabun, contohnya adalah Na-laurat, Na-palmitat, Na-stearat, Na-oleat, dsb.
b.  Minyak-minyak yang disulfatkan/disulfonkan, contohnya adalah minyak jarak yang disulfatkan (TRO).
c.  Parafin atau olefin yang disulfurkan, contohnya adalah senyawa sulfochlorida yang disabunkan, olefin yang disulfatkan .
d. Aralkil sulfonat, contohnya adalah alkil benzo sulfonat, naftalin sulfonat seperti 1-iso propil natalin 2-sulfonat-Na , dsb.
e.  Alkil sulfat, contohnya adalah Alkil sulfat primer/ dari alkil alkohol primer seperti asam malonat anhidrat + alkohol dengan Na-bisulfit , Alkil sulfat sekunder/ dari alkil alkohol sekunder.
f.  Kondensat asam lemak, contohnya adalah kondensat dengan gugus amino, kondensat mengandung gugus oksi , kondensat dengan gugus inti aromatik .
g.  Persenyawaan polietilenaoksida (poliglikoeter), contohnya adalah Alkil amin poliglikol eter, Dispersol E.
Surfaktan memiliki beberapa sifat, diantaranya adalah sebagai berikut (Vii afida,  2012) :
1.  Sebagai larutan koloid
Pada konsentrasi tinggi partikel koloid akan saling menggumpal, gumpalan ini disebut misel atau agregat baik berbentuk sferik (daya hantar listriknya tinggi) atau lamelar (daya hantar listriknya kecil disebut juga koloid netral) dan ada dalam kesetimbangan dengan sekitarnya (pelarut atau dispersi larutan). Kesetimbangan ini akan mencapai konsentrasi kritik misel.
2.  Adsorpsi
Apabila larutan mempunyai tegangan permukaan lebih kecil daripada pelarut murni, zat terlarut akan terkonsentrasi pada permukaan dan terjadi adsorpsi positif. Sebaliknya adsorpsi negatif menunjukkan bahwa molekul-molekul zat terlarut lebih banyak terdapat dalam rongga larutan daripada di permukaan. Hubungan antara derajat penyerapan dan penurunan tegangan permukaan dinyatakan dalam persamaan Gibbs.
3.  Kelarutan dan daya melarutkan
Partikel-partikel tunggal dari surfaktan relatif tidak larut, sedangkan misel mempunyai kelarutan tinggi. Makin panjang rantai hidrokarbonnya, makin tinggi temperatur kritik larutan.
4.  Pembasahan
Perubahan dalam tegangan permukaan yang menyertai proses pembasahan dinyatakan oleh Hukum Dupre.
5.  Daya Busa
Busa ialah dispersi gas dalam cairan dan zat aktif permukaan memperkecil tegangan antarmuka, sehingga busa akan stabil, jadi surfaktan mempunyai daya busa.
6.  Daya Emulsi
Emulsi adalah suspensi partikel cairan dalam fasa cairan yang lain, yang tidak saling melarutkan. Surfaktan akan menurunkan tegangan antarmuka, sehingga terjadi emulsi yang stabil. Surfaktan dapat menyebabkan permukaan kulit kasar, hilangnya kelembaban alami yang ada pada permukan kulit dan meningkatkan permeabilitas permukaan luar. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa kulit manusia hanya mampu memiliki toleransi kontak dengan bahan kima dengan kandungan 1 % LAS dan AOS dengan akibat iritasi ‘sedang’ pada kulit.
2.7  Perbedaan Sabun Dan Deterjen
Sabun adalah surfaktan yang digunakan dengan air untuk mencuci dan membersihkan. Sabun biasanya berbentuk padatan tercetak yang disebut batang karena sejarah dan bentuk umumnya. Penggunaan sabun cair juga telah telah meluas, terutama pada sarana-sarana publik. Jika diterapkan pada suatu permukaan, air bersabun secara efektif mengikat partikel dalam suspensi mudah dibawa oleh air bersih. Di negara berkembang, detergen sintetik telah menggantikan sabun sebagai alat bantu mencuci (Diah Pramushinta, 2011).
Gambar 2.3 Deterjen (Diah Pramushinta, 2011)
Banyak sabun merupakan campuran garam natrium atau kalium dari asam lemak yang dapat diturunkan dari minyak atau lemak dengan direaksikan dengan alkali (seperti natrium atau kalium hidroksida) pada suhu 80–100 °C melalui suatu proses yang dikenal dengan saponifikasi. Lemak akan terhidrolisis oleh basa, menghasilkan gliserol dan sabun mentah. Secara tradisional, alkali yang digunakan adalah kalium yang dihasilkan dari pembakaran tumbuhan, atau dari arang kayu. Sabun dapat dibuat pula dari minyak tumbuhan, seperti minyak zaitun (Diah Pramushinta, 2011).
Beda sabun dan deterjen yaitu deterjen tidak terbuat dari garam karboksilat sementara sabun terbuat dari garam karboksilat. Deterjen terbuat dari bahan-bahan yang sukar diuraikan mikroorganisme sementara sabun dapat diuraikan mikro-organisme (Diah Pramushinta, 2011).
2.8 Macam-Macam Sabun
Ada beberapa macam sabun, diantaranya (Diah Pramushinta, 2011) :
1.      Shaving Cream
Shaving Cream disebut juga dengan sabun kalium. Bahan dasarnya adalah campuran minyak kelapa dengan asam stearat dengan perbandingan 2:1.
2.      Sabun Cair
Sabun cair dibuat melalui proses saponifikasi dengan menggunakan minyak jarak serta menggunakan alkali (KOH). Untuk meningkatkan kejernihan sabun, dapat ditambahkan gliserin atau alkohol
3.      Sabun Kesehatan
Sabun kesehatan pada dasarnya merupakan sabun mandi dengan kadar parfum yang rendah, tetapi mengandung bahan-bahan antiseptik dan bebas dari bakteri adiktif. Bahan-bahan yang digunakan dalam sabun ini adalah tri-salisil anilida, tri-klor carbanilyda, irgassan Dp300 dan sulfur.
4.      Sabun Chip
Pembutan sabun chip tergantung pada tujuan konsumen dalam menggunakan sabun yaitu sebagai sabun cuci atau sabun mandi dengan beberapa pilihan komposisi tertentu. Sabun chip dapat dibuat dengan berbagai cara yaitu melalui pengeringan, atau menggiling atau menghancurkan sabun yang berbentuk batangan.
5.      Sabun Bubuk untuk mencuci
Sabun bubuk dapat diproduksi melalui dry-mixing. Sabun bubuk mengandung bermacam-macam komponen seperti sabun, sodium metaksilat, sodium karbonat, sodium sulfat, dan lain-lain.
2.9 Teknologi Pembuatan Sabun
Sabun dapat dibuat melalui 2 metode yaitu; proses batch dan kontinu. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan sabun yang berkualitas (Yuda Prawira, 2008) :
1.   Proses Batch
Pada proses batch, lemak atau minyak dipanaskan dengan alkali (NaOH atau KOH) berlebih dalam sebuah ketel. Jika penyabunan telah selesai, garam-garam ditambahkan untuk mengendapkan sabun. Lapisan air yang mengandung garam, gliserol dan kelebihan alkali dikeluarkan dan gliserol diperoleh lagi dari proses penyulingan. Endapan sabun gubal yang bercampur dengan garam, alkali dan gliserol kemudian dimurnikan dengan air dan diendapkan dengan garam berkali-kali. Akhirnya endapan direbus dengan air secukupnya untuk mendapatkan campuran halus yang lama-kelamaan membentuk lapisan yang homogen dan mengapung. Sabun ini dapat dijual langsung tanpa pengolahan lebih. lanjut, yaitu sebagai sabun industri yang murah. Beberapa bahan pengisi ditambahkan, seperti pasir atau batu apung dalam pembuatan sabun gosok. Beberapa perlakuan diperlukan untuk mengubah sabun gubal menjadi sabun mandi, sabun bubuk, sabun obat, sabun wangi, sabun cuci, sabun cair dan sabun apung (dengan melarutkan udara di dalamnya).
2.   Proses Kontinu
Pada proses kontinu, yaitu yang biasa dilakukan sekarang, lemak atau minyak hidrolisis dengan air pada suhu dan tekanan tinggi, dibantu dengan katalis seperti sabun seng. Lemak atau minyak dimasukkan secara kontinu dari salah satu ujung reaktor besar. Asam lemak dan gliserol yang terbentuk dikeluarkan dari ujung yang berlawanan dengan cara penyulingan. Asam-asam ini kemudian dinetralkan dengan alkali untuk menjadi sabun.
Pada umumnya, alkali yang digunakn dalam pembuatan sabun hanya NaOH dan KOH, namun kadang juga menggunakan NH4OH. Sabun yang dibuat dengan NaOH lebih lambat larut dalam air dibandingkan dengan sabun yang dibuat dengan KOH.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi penyabunan (Luis Spitz, 1996) antara lain:
1.   Konsentrasi larutan KOH/NaOH
Konsentrasi basa yang digunakan dihitung berdasarkan stokiometri reaksinya, dimana penambahan basa harus sedikit berlebih dari minyak agar tersabunnya sempurna. Jika basa yang digunakan terlalu pekat akan menyebabkan terpecahnya emulsi pada larutan sehingga fasenya tidak homogen., sedangkan jika basa yang digunakan terlalu encer, maka reaksi akan membutuhkan waktu yang lebih lama.
2.   Suhu (T)
Ditinjau dari segi thermodinamikanya, kenaikan suhu akan menurunkan hasil, hal ini dapat dilihat dari persamaan Van`t Hoff :


 


Karena reaksi penyabunan merupakan reaksi eksotermis (ΔH negatif), maka dengan kenaikan suhu akan dapat memperkecil harga K (konstanta keseimbangan), tetapi jika ditinjau dari segi kinetika, kenaikan suhu akan menaikan kecepatan reaksi. Hal ini dapat dilihat dari persamaan Arhenius berikut ini (Smith 1987) :

Dalam hubungan ini, k adalah konstanta kecepatan reaksi, A adalah faktor tumbukan, E adalah energi aktivasi (cal/grmol), T adalah suhu (ºK), dan R adalah tetapan gas ideal (cal/grmol.K).
Berdasarkan persamaan tersebut maka dengan adanya kenaikan suhu berarti harga k (konstanta kecepatan reaksi) bertambah besar. Jadi pada kisaran suhu tertentu, kenaikan suhu akan mempercepat reaksi, yang artinya menaikan hasil dalam waktu yang lebih cepat. Tetapi jika kenaikan suhu telah melebihi suhu optimumnya maka akan menyebabkan pengurangan hasil karena harga konstanta keseimbangan reaksi K akan turun yang berarti reaksi bergeser ke arah pereaksi atau dengan kata lain hasilnya akan menurun. Turunnya harga konstanta keseimbangan reaksi oleh naiknya suhu merupakan akibat dari reaksi penyabunan yang bersifat eksotermis (Levenspiel, 1972).
3.   Pengadukan
     Pengadukan dilakukan untuk memperbesar probabilitas tumbukan molekul-molekul reaktan yang bereaksi. Jika tumbukan antar molekul reaktan semakin besar, maka kemungkinan terjadinya reaksi semakin besar pula. Hal ini sesuai dengan persamaan Arhenius dimana konstanta kecepatan reaksi k akan semakin besar dengan semakin sering terjadinya tumbukan yang disimbolkan dengan konstanta A (Levenspiel, 1987).
4.  Waktu
     Semakin lama waktu reaksi menyebabkan semakin banyak pula minyak yang dapat tersabunkan, berarti hasil yang didapat juga semakin tinggi, tetapi jika reaksi telah mencapai kondisi setimbangnya, penambahan waktu tidak akan meningkatkan jumlah minyak yang tersabunkan (Perdana F.K, 2009).
2.9 Kesadahan Air
Air sadah adalah air yang mengandung ion Ca2+ dan Mg2+. Air sadah menyebabkan sabun sukar berbuih, karena ion-ion Ca2+/Mg2+ mengendapkan sabun.
Ca2+(aq) + 2 CH3(CH2)16COO-(aq)                             Ca(CH3(CH2)16COO)2 (s)

            Ion stearat dari sabun                                      endapan sabun
Kesadahan air dibedakan atas (Vii afida, 2012) :
a)   Kesadahan sementara
Yaitu kesadahan yang disebabkan oleh garam-garam hidrogen karbonat yaitu Ca(HCO3)2 atau Mg(HCO3)2. Kesadahan ini dapat dihilangkan dengan cara pemanasan (mendidihkan air).
Ca(HCO3)2(aq)                    CaCO3(s) + H2O(l) + CO2(g)

Apabila CaCO3 sudah berikatan dengan ion hydrogen karbonat maka ion Ca2+ tidak ada yang berkeliaran sehingga kesadahan bisa dihilangkan.
b)   Kesadahan Tetap
Yaitu kesadahan yang disebabkan oleh garam-garam selain garam hidrogen karbonat seperti; CaSO4, MgSO4, CaCl2, MgCl2. Kesadahan tetap ini sulit dihilangkan , bahkan tidak hilang walaupun dididihkan, namun ada beberapa cara untuk mengurangi kesadahan air, diantaranya; (Vii afida, 2012)
v  Proses Soda Kapur (mengendapkan Ca2+ dan Mg2+)
Air sadah direaksikan dengan soda Na2CO3 dan kapur Ca(OH)2.
·         MgSO4(aq) + Ca(OH)2(aq)                       Mg(OH)2 + CaSO4
·         CaSO4(aq) + Na2CO3(aq)             CaCO3(s) + Na2SO4(aq)
·         MgCl2(aq) + Na2CO3(aq)                              MgCO3(s) + 2NaCl(aq)
Endapan yang terbentuk dipisahkan dengan cara penyaringan.
v  Proses Zeolit (Na Zeolit dalam bentuk endapan)
Air sadah dialirkan melalui Natrium Zeolit, sehingga ion Ca2+ dan Mg2+ akan diikat oleh zeolit menggantikan ion Na+ membentuk kalsium/magnesium zeolit.
Kerugian yang ditimbulkan air sadah diantaranya (Vii afida, 2012) :
a. Memboroskan sabun
Air sadah menyebabkan sabun sukar berbuih sebelum semua ion Ca2+ dan Mg2+ mengendap, sehingga dapat mengurangi daya pembersih pada sabun.

b.   Menimbulkan Batu Ketel
Batu ketel adalah sejenis karang yang terbentuk pada dasar ketel. Batu ketel ini mengakibatkan penghantaran panas dari ketel ke air berkurang.
2.10 Metode Pembuatan Sabun
Berdasarkan reaksi yang terjadi, ada 4 metode proses pembuatan sabun yaitu sebagai berikut (Y.H.Hui, 1996)  :
1.Proses pendidihan penuh
Proses pendidihan penuh pada dasarnya sama dengan proses batch yaitu minyak/lemak dipanaskan didalam ketel dengan menambahkan NaOH yang telah dipanaskan, selanjutnya campuran tersebut dipanaskan sampai terbentuk pasta kira-kira setelah 4 jam pemanasan. Setelah terbentuk pasta ditambahkan NaCl (10-12%) untuk  mengendapan sabun. Endapan sabun dipisahkan dengan menggunakan air panas dan terbentuklah produk utama sabun dan produk samping gliserin.
2.Proses semi pendidihan
Pada proses semi pendidihan, semua bahan yaitu minyak/lemak dan alkali langsung dicampur kemudian dipanaskan secara bersamaaan. Terjadilah reaksi saponifikasi. Setelah reaksi sempurna ditambah sodium silikat dan sabun yang dihasilkan berwarna gelap.
3.Proses dingin
Pada proses dingin semua bahan yaitu minyak, alkali, dan alkohol dibiarkan didalam suatu tempat/bejana tanpa dipanaskan (temperatur kamar,25oC). Raksi antara NaOH dan uap air (H2O) merupakan reaksi eksoterm sehingga dapat menghasilkan panas. Panas tersebut kemudian digunakan untuk mereaksikan minyak/lemak dan NaOH/alkohol. Proses ini memerlukan waktu untuk reaksi sempurna selama 24 jam dan dihasilkan sabun berkualitas tinggi.
Adapun syarat-syarat terjadinya proses dingin adalah sebagai berikut :
·   Minyak/lemak yang digunakan harus murni
·   Konsentrasi NaOH harus terukur dengan teliti
·   Temperatur harus terkontrol dengan baik
4.Proses netral
Prinsip dasar dari proses netral adalah minyak/lemak ditambah NaOH sehingga terjadi reaksi saponifikasi dan dihasilkan sabun dan gliserin. Sabun yang dihasilkan tidak bersifat netral sehingga tidak dapat menghasilkan busa yang banyak.Oleh karena itu, perlu dilakukan penetralan dengan menambahkan Na2CO3.
2.11 Kegunaan Sabun
Sabun berkemampuan untuk mengemulsi kotoran berminyak sehingga dapat dibuang dengan pembilasan. Kemampuan ini disebabkan oleh dua sifat sabun :
1.Rantai hidrokarbon sebuah molekul sabun bersifat nonpolar sehingga larut dalam zat non polar, seperti tetesan-tetesan minyak.
2.Ujung anion molekul sabun, yang tertarik dari air, ditolak oleh ujung anion molekul-molekul sabun yang menyembul dari tetesan minyak lain. Karena tolak menolak antara tetes sabun-minyak, maka minyak itu tidak dapat saling bergabung tetapi tersuspensi (Ralph J. Fessenden, 1992).



BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat-Alat
1.      Alumunium foil
2.      Corong
3.      GelasUkur 50 ml
4.      Gelas kimia 1000 ml dan 600 ml
5.      Kertas Saring
6.      Pengaduk
7.      Penangas air
3.2 Bahan-bahan yang digunakan
1.      Minyak Kelapa
2.      Natrium Hidroksida 2N
3.      Minyak Ikan Patin
4.      Lemak Ikan Patin
5.      Etanol
6.      Gula Pasir
7.      Aquadest
8.      Soda Kue
9.      Asam Cuka
3.3 Prosedur Percobaan
3.3.1 Pembuatan Sabun I
1.      Tuangkan Larutan NaOH sebanyak 37,5 gram kedalam 85 ml air suling didalam gelas kimia
2.      Campurkan minyak kelapa sebanyak 81,5 ml dengan minyak ikan patin sebanyak 162,5 ml didalam gelas kimia lain
3.      Panaskan campuran minyak kelapa dan minyak ikan patin pada suhu 50 oC
4.      Kedalam Campuran tadi masukkan campuran NaOH kemudian diaduk selama 3 jam suhu 70-80 oC
5.      Tambahkan 75 ml Etanol kedalam capuran tadi
6.      Biarkan campuran selama 30 menit dalam suhu kamar
7.      Ambil gula sebanyak 57,5 gram dan larutkan dalam air suling mendidih bervolume 82,5 ml
8.      Tambahkan pewarna dan pewangi secukupnya
9.      Tuangkan sabun kedalam cetakan.
3.3.2  Pembuatan Sabun II
1.        Campurkan NaOH sebanyak 35 gram kedalam air suling bervolume 175 ml di dalam gelas kimia
2.        Kedalam campuran tersebut tambahkan 200 ml lemak ikan patin kemudian dipanaskan pada suhu 60 – 70oC selama 10 menit
3.        Kemudian tambahkan pewangi dan pewarna secukupnya
4.        Tuangkan dalam cetakan dan diamkan
3.3.3   Pembuatan Pelembut
1.      Campurkan 500 ml asam cuka dengan 50 gr soda kue secara perlahan lahan
2.       Setelah campuran sempurna tambahkan gliserin sebanyak 40 ml
3.         Tambahakan pewangi dan pewarna secukupnya




BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1         Data Pengamatan
Dari percobaan yang dilakukan didapat hasil pengamatan sebagai berikut :
Tabel 4.1.Pengamatan pembuatan Sabun
No.
Perlakuan
Pengamatan
1.
Minyak kelapa
Minyak Ikan patin            Dipanaskan
NaOH
Air suling
Larutan berwarna kuning, terdapat dua lapisan, dan berbuih. Dilakukan pada suhu 60 – 70oC.
2.
Campuran                   Didinginkan
Terdapat gumpalan pada dasar larutan.
3.
Gula
Air suling     
Terbentuk Larutan homogen
4.
Larutan gula
Campuran Minyak    
Campuran mulai membeku dan mengeras serta menggumpal.
5
Sabun yang terbentuk dimasukkan kedalam cetakan


Tabel 4.2.Pembuatan sabun 2
No.
Perlakuan
Pengamatan
1.
NaOH dan Air suling            Dicampurkan
Larutan eksoterm, bewarna putih bening dan panas.
2.
Lemak Ikan patin 200ml  dipanaskan
Lemak ikan mengental
3.
Larutan NaOH
Lemak ikan patin
Campuran  menggumpal



4.
Campuran             Dipanaskan

Campuran lebih menggumpal dan padat. Campuran dipanaskan pada suhu 60–70 oc
5
Sabun yang terbentuk dimasukkan kedalam cetakan


Tabel 4.3 Pembuatan Pelembut
No.
Perlakuan
Pengamatan
1.
Dicampurkan
 
Asam Cuka500 ml
Soda Kue 50 gram
Reaksi berlangsung cepat dengan ditandai adanya gas gas
2.
Campuran diaduk
Larutan tampak homogen
3.
Campuran
Pewarna + Gliserin
Larutan Berubah warna

Tabel 4.4 Sifat Sabun
No.
Bahan
Pengamatan
1.

2.

3.
4.
5.
6.
Kerosen + Air               Dikocok

Kerosen + Air + Sabun               Dikocok

Sabun + Air panas
Larutan sabun + Kalsium Sulfat
Sabun + Etanol
Sabun + Etanol + Phenolpthalein
Terbentuk 2 lapisan, tidak homogen dan bening
Berbusa, Larutan menjadi homogen

Berbuih
Tidak berbusa, sabun mengendap
Tercampur sempurna
Larutan berwarna Ungu (basa)











4.2 Reaksi-Reaksi yang Terjadi
·         Reaksi Saponifikasi
C3H3(O2CR)3    +    3NaOH                3RCOONa    +    C3H5(OH)3
     Lemak/Minyak          Alkali                     Sabun                 Gliserida

·         Reaksi Etanol dan NaOH
C2H5OH   +   NaOH                      C2H5ONa +   H2O
       Etanol           Alkali                      NatriumEtoksida

4.3 Pembahasan
            Reaksi saponifikasi adalah suatu reaksi yang melibatkan lemak atau minyak dengan suatu alkali yang akan menghasilkan sabun dan Gliserol. Pada percobaan yang pertama minyak yang digunakan adalah campuran antara minyak kelapa (coconut oil) dan minyak ikan patin. Dan pada percobaan yang kedua menggunakan lemak dari minyak ikan patin.
4.3.1 Percobaan 1
Pada percobaan pertama awalnya kita membuat larutan NaOH dari 37,5 gram NaOH dengan air suling sebanyak 85 mL. Larutan akan berwarna putih dan terasa panas. Hal ini dikarenakan terjadi peristiwa eksoterm. Lalu ambil minyak kelapa 81,5 mL dan minyak ikan patin 162,5 mL. Campuran minyak kelapa dan minyak ikan patin di panaskan pada suhu 50oC sambil di aduk. Minyak akan menjadi homogen dan mengental dengan warna coklat agak kekuningan. Hal ini dikarena adanya pemanasan dari kedua jenis minyak tersebut. Setelah itu campurkan larutan NaOH ke dalam campuran minyak dan aduk selama ±3 jam pada suhu 70-80oC.
Pada prinsipnya fungsi utama  penambahan alkali adalah membantu sabun untuk menetralkan sifat asam. Selain itu NaOH juga berfungsi sebagai pemberi busa pada pembuatan sabun tersebut. Setelah ditambahkan NaOH dilakukan pemanasan untuk menguapkan etanolnya, dimana suhu pemanasan yaitu 60 –70oC harus dijaga konstan. Hal ini dikarenakan jika suhu pemanasan diatas 70oC maka etanol akan cepat menguap dan proses pereaksi antar minyak (trigliserida) dengan NaOH tidak sempurna. Pemanasan dilakukan sampai bau alkohol hilang.
Setelah itu dibuat larutan gula dengan melakukan pemanasan antar gula dan air suling. Seteah larutan homogen, maka larutan gula dicampurkan kedalam campuran yang telah dibuat. Fungsi dari penambahan gula ini adalah sebagai pembersih sabun, bersifat humetecant yang dikenal untuk pembusaan sabun . Semakin putih warna gula, maka akan semakin jernih warna sabun yang akan dihasilkan. Namun apabila terlalu banyak gula sabun akan menjadi lengket, pada permukaan sabun akan keluar gelembung-gelembung kecil. Gula yang baik untuk sabun transparan adalah gula yang apabila di larutkan akan berwarna jernih seperti gliserin karena warna gula mempengaruhi warna sabun akhir. Selain itu, sabun juga berfungsi sebagai antibacteria , sebagai pelembut, dan memperbnyak busa.
Hasilnya gumpalan sabun tadi menjadi lebih lengket dan sedikit lebih transparan, selain itu sabun juga terpisah dengan gliserol. Selanjutnya pisahkan sabun den gliserol dengan menggunakan sendok,  Dan untuk hasil akhir yang lebih bagus sabun dapat ditambahkan pewarna dan pewangi, setelah itu sabun siap untuk diletakkan pada cetakan.
            Dari data hasil percobaan yang telah didapatkan diatas, maka didapatkanlah sabun yang memenuhi sifat-sifat sabun, diantaranya yaitu berbusa jika dilarutkan didalam air, dapat melarutkan minyak di dalam air, dan bersifat basa karena dapat berubah menjadi warna pink jika diuji dengan indikator phenolphthalein. Selain itu, sabun yang didapat, juga tidak mampu bekerja pada air sadah (air yang mengandung mineral), pada percobaan kami lakukan terhadap larutan Kalsium Sulfat. Pada air sadah  ini, sabun tidak bekerja, hal ini ditandai dengan tidak munculnya busa, tetapi timbul dadih-dadih sabun, yang merupakan garamnya. Diam kan campuran sabun dalam suhu ruang sambil ditutup aluminium foil selama 30 menit.Hasilnya terbentuk gumpalan padat pada bagian atas ini merupakan sabun dan zat cair di bagian bawah, dan ini merupakan gliserol.
4.3.2 Percobaan II
            Pada percobaan yang kedua digunakan lemak dari minyak ikan patin. Langkah pertama adalah membuat larutan NaOH 5N dengan cara memasukkan ke dalam gelas kimia 70 gr NaOH lalu tambahkan 350 ml aquadest. Tujuan penambahan NaOH adalah menetralkan sifat asam. Selain itu penambahan NaOH sebagai pemberi busa pada pembuatan sabun tersebut. Setelah itu larutan NaOH dicampurkan kedalam 400 ml lemak minyak ikan patin., hasilnya lemak menjadi encer dan berwarna kuning telur. Campuran dipanaskan pada suhu 60-70oC  lalu akan terbentuk larutan dengan banyak gumpalan-gumpalan kecil. Tujuan dari pemanasan tersebut adalah untuk menghomogen kan campuran dari lemak ikan patin dan larutan NaOH.
   Lalu dinginkan campuran dengan menggunakan batu es hingga terbentuk 2 lapisan sabun dan Gliserol. Tujuan didinginkan adalah untuk membekukan campuran dari lemak ikan patin dan larutan NaOH supaya membentuk sabun padatan. Pisahkan sabun dan Gliserol, lalu masukkan sabun ke dalam cetakan.
4.3.3 Pembuatan Pelembut
Pada percobaan ini, direaksikan asam cuka 500 mL dan soda kue 50 gram sehingga membentuk reaksi yang sangat cepat karena adanya gas gas. Pada percobaan ini, penambahan asam cuka merupakan reaksi netralisasi asam basa dimana reaksi ini dapat bercampur dengan material lain. Sedangkan penambahan soda kue berfungsi untuk memperkuat kinerja pelembut karena soda kue merupakan abrasif ringan. Abrasif ringan adalah bahan yang dapat membersihkan kotoran atau noda yang susah hilang dengan baik. Setelah itu ditambahkan 40 ml gliserin. Adapun disini gliserin berfungsi sebagai humektan pada pakaian. Humektan disini berfungsi untuk melindungi pakaian dari bakteri dan kuman kuman (Anonim, 2011).







BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1.        Bahan dasar pembuatan sabun secara sederhana adalah dengan memanaskan campuran antara lemak/minyak dengan alkali (basa).
2.        Sabun memiliki dua ujung, yang mana salah satu ujungnya sangat suka larut dalam air, dan ujung satunya lagi sangat suka larut dalam minyak.
3.        Dari percobaan di atas dapat disimpulkan bahwa sabun bersifat emulgator. Hal ini sesuai dengan kemampuan sabun menyatukan larutan air dengan kerosen.
4.        Sabun tidak bekerja pada air sadah, karena tidak terdapat busa dan membentuk endapan garamnya.
5.        Sabun bersifat basa, hal ini dibuktikan melalui penambahan phenolphthalein kedalam larutan sabun, yang menghasilkan larutan berwarna ungu.
5.2 Saran
1.           Pemisahan sabun dengan gliserol sebaiknya dilakukan dengan satu alat saja, yaitu pompa vaccum, supaya tidak banyak terdapat tumpahan.
2.           Pemberian warna dilakukan pada saat sabun dan gliserol telah dipisahkan supaya warna yang dicampurkan terlihat.
3.           Usahakan agar pada saat pengadukan dilakukan secara merata, agar tidak ada bagian yang tidak tercampur dengan sempurna.
4.           Konsentrasi NaOH harus terhitung dengan teliti dan benar.







DAFTAR PUSTAKA
Brown, G.G, Katz D, Foust A.S, Schneidewind S, 1973, Unit Operation, John Wiley & Sons, Inc, Tokyo.
Diah Pramushinta.2012. Pembuatan Sabun. http://PembuatanSabun_ Inuyashaku's Blog.html
Fessenden & Fessenden. 1982. Kimia Organik Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Hui, Y. H, 1996, Bailey’s Industrial Oil and Fat Products,  fifth edition, New York, Jhon Willey & Sons Inc http://www.alcasoft.com/soapfact/history.html
Irdoni, HS dan Nirwana, HZ, 2013, Modul Praktikum Kimia Organik, Laboratorium Teknologi Bahan Alam & Mineral Teknik Universitas Riau, Pekanbaru
Luthana, Yissa. 2010. Bahan – bahan Pembuatan Sabun. http://yissaprayogo. wordpress.com/2010/05/07/bahan-bahan-dalam-pembuatan-sabun/.  Diakses pada 3 Mei 2013.
Perdana, F.K dan Ibnu Hakim, 2009, Pembuatan Sabun Cair dari Minyak Jarak dan Soda Q Sebagai Upaya Meningkatkan Pangsa Pasar Soda Q, http://eprints.undip.ac.id, 14 Mai 2013.
Suheri, Fauzan. 2010. Pembuatan Sabun. http://blog.unsri.ac.id/suherifauzan/kampus/pembuatan-sabun/.html. Diakses pada 2 Mei 2013
Vii afida. 2012.Proses Pembuatan sabun dan detergent. http://viiafida.blogspot.com/2012/11/proses-pembuatan-sabun-dan-detergent.html. Diakses tanggal 2 mei 2013


 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar