MAKALAH KEWARGANEGARAAN
Tentang Korupsi
Disusun oleh :
1. Lukman Arifin(1207121229)
2. Annur Fauzi(1207113567)
3. Rio Saputra(1207121226)
4. Rahmawati(1207121230)
5. Toni Arissaputra(1207112220)
6. Ibnu Oktariza(1207113559)
7. Nico Gunawan(1207113557)
8. Hazrina Aizah(1207121214)
9. Rino Rinaldi(1207112224)
Teknik Kimia Kelas A
Jurusan Teknik Kimia
Fakultas Teknik
Universitas Riau
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar
.........................................................................................
3
BAB
I : PENDAHULUAN
....................................................................... 4
•
Latar Belakang Masalah
............................................................. 4
•
Perumusan Masalah
................................................................... 4
•
Tujuan dan Manfaat
................................................................... 4
BAB
II : PEMBAHASAN
........................................................................ 5
1.Pengertian
Korupsi ......................................................................
5
a. menurut
etimologi
................................................................. 5
b. secara
Terminologi
............................................................... 5
c. menurut para ahli
...................................................................... 6
2.Tingkatan
korupsi
............................................................................ 7
3. Macam macam korupsi ..................................................................
8
4.faktor penyebab korupsi
............................................................... 10
5.Dampak Korupsi
........................................................................... 12
6.Nilai dan Prinsip Anti Korupsi
..................................................... 13
•
akuntabilitas ..................................................................... 14
•
transparansi ......................................................................
16
•
fairness ..........................................................................
19
•
kebijakan antikorupsi ......................................................... 22
•
control kebijakan ................................................................... 25
7.Perangkat
Hukum Anti Korupsi ................................................... 29
8.Cara pencegahan tindakan korupsi
............................................... 112
ü
Sejarah
Pemberantasan Korupsi ....................................... 112
ü
Fakta Korupsi di
Indonesia ............................................... 114
ü
Strategi
Pemberantasan Korupsi ....................................... 116
ü
Bidang Pencegahan
........................................................... 117
Ø
Pembentukan Integritas Bangsa ................................... 117
Ø Penerapan Tata Kelola Pemerintahan yang baik ......... 119
Ø Reformasi Birokrasi ....................................................
120
ü
Bidang
Penindakan .......................................................... 122
9. Pemberantassan Korupsi Melalui Program Pembangunan...........
133
BAB III : KESIMPULAN DAN SARAN
............................................... 137
ü Kesimpulan
............................................................................
137
ü Saran
......................................................................................
137
Kata
pengantar
Puji syukur kami
ucapkan kehadirat Allah swt yang atas hidayah dan ridho nya penulis mampu
menyelesaikan makalah ini. Makalah ini
disusun dalam menyelesaikan tugas kewarganegaraan yang diberikan oleh dosen
Makalah ini
berisikan tentang permasalahan korupsi dan penanggulangan nya. Seperti yang
kita lihat bahwa pada saat ini banyak terjadi penyelewengan uang negara untuk
kepentingan sendiri atau golongan.
Oleh sebab
itu,kami sebagai penulis merasa khawatir dengan keadaan ini dan berusaha untuk
melakukan upaya yang bisa meminimalisir tindakan korupsi tersebut dengan cara
membuat makalah ini.
Tak lupa pula
saya ucapkan rasa terima kasih kepada Allah swt karena rahmat dan karunia Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini,tidak lupa pula kami mengucapkan terima
kasih kepada dosen kewarganegaraan Ir.ermiyati yang telah memberikan bimbingan
kepada penulis.
Pekanbaru,04
desember 2012
Penulis
BAB
1
Pendahuluan
•
Latar
belakang
Pada saat ini,banyak terjadi
penyalahan gunaan kekuasaan yang terjadi pada petinggi petinggi negara,salah
satunya yaitu penyelewengan uang negara . penyelewengan uang negara atau lebih
familiarnya disebut korupsi .Korupsi merupakan fenomena sosial yang hingga
kini masih belum dapat diberantas oleh manusia secara maksimal. Korupsi tumbuh
seiring dengan berkembangnya peradaban manusia. Tidak hanya di negeri kita
tercinta, korupsi juga tumbuh subur di belahan dunia yang lain, bahkan di
Negara yang dikatakan paling maju sekalipun. Oleh sebab itu penulis
mengambil topik mengenai korupsi .
•
Tujuan
1.mahasiswa dapat memahami
pengertian korupsi
2.mahasiswa dapat mengetahui
akibat akibat dari korupsi
3.mahasiswa dapat mengetahui
UU mengenai Korupsi
4.mahasiswa dapat mengetahui
cara cara penanggulangan korupsi
• Rumusan masalah
1. Apa pengertian dari korupsi?
2. Apa saja tingkatan dari
korupsi?
3. Sebutkan faktor faktor
penyebab korupsi?
4. Sebutkan dampak dari
korupsi?
5. Sebutkan nilai dan prinsip
anti korupsi?
6. Sebutkan perangkat hukum dan
UU tentang korupsi?
Bab II
Pembahasan
1.Pengertian
Korupsi
a.Secara
etimologi
•
Istilah korupsi
berasal dari bahasa latin “corrumpere”, “corruptio”
, “corruptus”.Kemudian diadopsi oleh beberapa bangsa di dunia.
Beberapa bangsa di dunia memiliki istilah tersendiri
mengenai korupsi.Dalam bahasa inggris korupsi berasal
dari kata Corruption, Corruptyang berarti Jahat, rusak, curang.Dalam bahasa prancis
korupsi berasal dari kata Corruption yang berarti Rusak.Dalam bahasa belanda korupsi berasal
dari kata Corruptie,Korruptie
.Istilah
“korupsi” yang dipakai di Indonesia merupakan turunan dari bahasa Belanda
b.Secara
Terminologi
•
Korup = busuk, palsu, suap (kamus besar bahasa Indonesia,
1991)
•
Korup = suka menerima uang sogok, menyelewengkan uang/barang
milik perusahaan atau negara, menerima uang dengan menggunakan jabatan untuk
kepentingan pribadi (kamus hukum, 2002)
•
Korup = kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian (the lexicon webster dictionary, 1978)
c.Menurut para ahli
David
M. Chalmers:
Tindakan-tindakan
manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan ekonomi (financial
manipulations and decision injurious to the economy are often libeled corrupt).
J.J.
Senturia:
Penyalahgunaankekuasaan
pemerintahan untuk keuntungan pribadi (the misuse of public power for
private profit).
Syed
Husein Alatas:
Tindakan
yang meliputi penyuapan (bribery), pemerasan (extortion) dan
nepotisme.
Transparency
International:
Penyalahgunaan
kekuasaan (amisuseof power), kekuasaan yang dipercayakan (a power
that isentrusted), dan keuntungan pribadi (a private benefit) baik
sebagai pribadi, anggota keluarga, maupun kerabat dekat lainnya.
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia :
korupsi adalah penyelewengan atau
penggelapan (uang Negara, atau perusahaan, dsb) untuk keuntungan pribadi atau
orang lain.
Menurut Kamus Hukum
yang ditulis Prof. R. Subekti, SH. Dan Tjtrosudibio :
korupsi adalah perbuatan curang, tindak
pidana yang merugikan uang Negara.
Menurut Kamus Hukum
yang ditulis Dr. Andi Hamzah, SH.
korupsi adalah suatu perbuatan buruk,
busuk, bejat, suka disuap, perbuatan yang menghina atau memfitnah, menyimpang
dari kesucian, tidak bermoral.
Robert Redfield :
korupsi dilihat dari pusat budaya, pusat
budaya dibagi menjadi dua, yakni budaya kraton (great culture) dan budaya wong
cilik (little culture).
2.Tingkatan korupsi
ü Pengkhianatan
terhadap kepercayaan
(betrayal of trust)
(betrayal of trust)
Pengkhianatan merupakan bentuk korupsi paling sederhana
Semua orang yang berkhianat atau mengkhianati kepercayaan atau amanat yang diterimanya adalah
koruptor. Amanat
dapat berupa apapun, baik materi maupun non materi (ex: pesan, aspirasi rakyat).Anggota DPR yang tidak menyampaikan
aspirasi rakyat/menggunakan aspirasi untuk kepentingan pribadi merupakan bentuk
korupsi
ü Penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power)
(abuse of power)
Abuse of power merupakan korupsi
tingkat menengah.Merupakan
segala bentuk penyimpangan yang dilakukan melalui struktur kekuasaan,
baik pada tingkat negara maupun lembaga-lembaga struktural lainnya, termasuk
lembaga pendidikan, tanpa mendapatkan keuntungan materi.
ü Penyalahgunaan kekuasan untuk mendapatkan keuntungan material (material benefit).
Penyimpangan
kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan material baik bagi dirinya sendiri
maupun orang lain. Korupsi pada level ini merupakan tingkat paling membahayakan
karena melibatkan kekuasaan dan keuntungan material. Ini merupakan bentuk
korupsi yang paling banyak terjadi di Indonesia
3. Macam macam
korupsi
•
Korupsi telah didefinisikan secara jelas
oleh UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 dalam pasal-pasalnya.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, terdapat 33 jenis tindakan yang dapat
dikategorikan sebagai korupsi. 33 tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 7
kelompok yakni :
•
Korupsi yang terkait dengan merugikan
keuangan Negara
•
Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap
•
Korupsi yang terkait dengan penggelapan
dalam jabatan
•
Korupsi yang terkait dengan pemerasan
•
Korupsi yang terkait dengan perbuatan
curang
•
Korupsi yang terkait dengan benturan
kepentingan dalam pengadaan
•
Korupsi yang terkait dengan gratifikasi, dll.
•
Menurut Aditjandra dari definisi tersebut
digabungkan dan dapat diturunkan menjadi dihasilkan tiga macam model korupsi
(2002: 22-23) yaitu :
•
Model korupsi lapis pertama
Berada dalam bentuk suap (bribery), yakni dimana prakarsa datang dari pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas pelayanan publik atau pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara, pemerasan (extortion) dimana prakarsa untuk meminta balas jasa datang dari birokrat atau petugas pelayan publik lainnya.
Berada dalam bentuk suap (bribery), yakni dimana prakarsa datang dari pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas pelayanan publik atau pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara, pemerasan (extortion) dimana prakarsa untuk meminta balas jasa datang dari birokrat atau petugas pelayan publik lainnya.
•
Model korupsi lapis kedua
Jarring-jaring korupsi (cabal) antar birokrat, politisi, aparat penegakan hukum, dan perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Menurut Aditjandra, pada korupsi dalam bentuk ini biasanya terdapat ikatan-ikatan yang nepotis antara beberapa anggota jaring-jaring korupsi, dan lingkupnya bisa mencapai level nasional.
Jarring-jaring korupsi (cabal) antar birokrat, politisi, aparat penegakan hukum, dan perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Menurut Aditjandra, pada korupsi dalam bentuk ini biasanya terdapat ikatan-ikatan yang nepotis antara beberapa anggota jaring-jaring korupsi, dan lingkupnya bisa mencapai level nasional.
•
Model korupsi lapis ketiga
Korupsi dalam model ini berlangsung dalam lingkup internasional dimana kedudukan aparat penegak hukum dalam model korupsi lapis kedua digantikan oleh lembaga-lembaga internasional yang mempunyai otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya terlebih oleh pimpinan rezim yang menjadi anggota jarring-jaring korupsi internasional korupsi tersebut.
Korupsi dalam model ini berlangsung dalam lingkup internasional dimana kedudukan aparat penegak hukum dalam model korupsi lapis kedua digantikan oleh lembaga-lembaga internasional yang mempunyai otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya terlebih oleh pimpinan rezim yang menjadi anggota jarring-jaring korupsi internasional korupsi tersebut.
4.Faktor penyebab
korupsi
•
Penyebab korupsi terdiri atas faktor
internal dan faktor eksternal.
Faktor internal
merupakan penyebab yang datangnya dari diri pribadi atau individuFaktor
eksternal berasal dari lingkungan atau sistem.
Pencegahan korupsi dapat dilakukan dengan menghilangkan, atau setidaknya
mengurangi, kedua faktor penyebab tersebut.Faktor internal sangat ditentukan
oleh kuat tidaknya nilai-nilai anti korupsi tertanam dalam diri setiap
individu. Nilai-nilai anti korupsi itu perlu diterapkan oleh setiap individu
untuk dapat mengatasi faktor eksternal agar korupsi tidak terjadi. Untuk
mencegah terjadinya faktor eksternal, selain memiliki nilai-nilai anti korupsi,
setiap individu perlu memahami dengan mendalam prinsip-prinsip anti korupsi
•
Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan
dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberi ilham dan mempengaruhi tingkah
laku yang menjinakkan korupsi.
•
Kelemahan pengajaran-pengajaran agama
dan etika.
•
Kolonialisme, suatu pemerintahan asing
tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung
korupsi.
•
Kurangnya pendidikan.
•
Adanya banyak kemiskinan.
•
Perubahan radikal, suatu sistem nilai
yang mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit transisional.
•
Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.
•
Greeds(keserakahan)
: berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam
diri setiap orang.
•
Opportunities(kesempatan)
: berkaitan dengankeadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang
sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan
kecurangan.
•
Needs(kebutuhan)
: berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk
menunjang hidupnya yang wajar.
•
Exposures(pengungkapan)
: berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku
kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
•
Sistem Administrasi Yang lemah/ tidak efektif
•
Kompensasi yang tidak proporsional (tidak dapat
menjamin orang jujur hidup layak)
•
Pejabat yang serakah
•
Pengawasan Yang tidak efektif
•
Law
Enforcement yang tidak berjalan
•
Ringannya hukuman bagi koruptor:
o Tidak ada efek Jera
o Tidak ada efek takut
•
Tidak ada keteladanan yang baik
•
Budaya Yang toleran
5.Dampak Korupsi
•
Korupsi
menghambat pembangunan & kegiatan usaha di Indonesia
•
Setiap
kegiatan perekonomian harus melewati “pintu-pintu” korupsi
•
Perkembangan
kegiatan usaha terhambat, pengangguran makin banyak, harga barang & jasa
menjadi melambung
•
Pendidikan dan
kesehatan sangat mahal
•
Rendahnya kualitas infrastruktur dan pelayanan
publik;
•
Timbulnya ekonomi biaya tinggi;
•
Berkurangnya penerimaan negara;
•
Runtuhnya lembaga dan nilai-nilai demokrasi;
•
Membahayakan kelangsungan pembangunan dan supremasi
hukum;
•
Meningkatnya kemiskinan dan kesengsaraan rakyat;
•
Bertambahnya masalah sosial dan kriminal;
•
Adanya mata rantai antara korupsi dengan bentuk
kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisir dan kejahatan ekonomi.
ü Dampak korupsi Terhadap Perekonomian
Nasional
•
Laju pertumbuhan Yang Lamban
•
Pengangguran Yang tinggi
•
Jumlah Orang miskin absolut yang tinggi
•
Tergantung pada utang / investasi luar
negeri
•
Kebocoran dana pembangunan
ü Dampak korupsi Terhadap Sumber Daya
Alam
•
Minyak akan habis sebelum tahun 2030
•
Tingkat Kerusakan hutan sudah dalamm
keadaan bahaya (stadium 4)
•
Pencemaran Laut dan hilangnya potensi
kelautan
•
Bencana alam marak secara nasional
ü Dampak korupsi Terhadap Keamanan dan
Keutuhan Negara
•
Konflik Vertikal dan Horizontal
•
Disintegrasi
•
Kelemahan pertahanan
ü Dampak korupsi Terhadap Sosial Budaya
•
Keretakan kehidupan rumah tangga
•
Lahir Generaasi yang split personality
•
Lahir Budaya keganasan
•
Lahir Budaya Hedonisme
6.Nilai dan Prinsip Anti Korupsi
Prinsip-prinsip
antikorupsi pada dasarnya merupakan langkah-langkah antisipatif yang harus
dilakukan agar laju pergerakan korupsi dapat dibendung bahkan diberantas. Pada dasarnya
prinsip-prinsip antikorupsi terkait dengan semua aspek kegiatan public yang
menuntut adanya integritas, objektivitas, kejujuran, keterbukaan, tanggung
gugat, dan meletakkan kepentingan public di atas kepentingan individu.
Dalam konteks korupsi ada beberapa
prinsip yang harus ditegakkan untuk mencegah terjadinya korupsi, yaitu prinsip
akuntabilitas, transparansi, kewajaran (fairness), dan adanya aturan main yang
dapat membatasi ruang gerak korupsi serta control terhadap aturan main
tersebut.
AKUNTABILITAS
Prinsip
akuntabilitas merupakan pilar penting dalam rangka mencegah terjadinya korupsi.
Prinsip ini pada dasarnya dimaksudkan agar segenap kebijakan dan
langkah-langkah yang dijalankan sebuah lembaga dapat dipertanggungjawabkan
secara sempurna. Oleh karena itu prinsip akuntabilitas sebagai prinsip
pencegahan tindak korupsi membutuhkan perangkat-perangkat pendukung, baik
berupa perundang-undangan (de jure) maupun dalam bentuk komitmen dan dukungan
masyarakat (de facto). Keberadaan undang-undang maupun peraturan secara
otomatis mengharuskan adanya akuntabilitas. Dalam hal keuangan Negara
pemerintah memliki undang-undang tentang pengelolaan anggaran Negara. Sesuai
dengan penjelasan pasal 12 ayat 3 undang-undang tentang keuangan Negara,
defisit anggaran dibatasi maksimal 3 persen dari produk domestik bruto (PDB)
dan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari pendapatan domestik bruto
(PDB). Dalam penyusunan APBD defisit juga tidak boleh melebihi 3 persen dan
utang tidak boleh melebihi 60 persen dari PBD.
Sebagai
bentuk perwujudan prinsip akuntabilitas, undang-undang keuangan Negara juga
menyebutkan adanya kewajiban ganti rugi yang diberlakukan atas mereka yang
karena kelengahan atau kesengajaan telah merugikan Negara. Prinsip
akuntabilitas pada sisi lain juga mengharuskan agar setiap penganggaran biaya
dapat disusun sesuai target atau sasaran.
Agenda-agenda
yang harus ditempuh untuk mewujudkan prinsip-prinsip akuntabilitas pengelolaan
keuangan Negara meliputi dua aspek yaitu :
1.)
Mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban. Mekanisme yang berjalan selama ini
adalah bahwa setiap pengelolaan anggaran Negara dibuat dalam beberapa rangkap
yang ditunjukkan kepada penanggungjawab proyek pada lembaga yang bersangkutan
dan yang menadai, yakni Direktorat Jendral Anggaran Departemen Keuangan, yang
kemudian ditembuskan kepada komponen-komponen atau lembaga yang melakukan
pengawasan.
Melalui prinsip akuntabilitas, maka
mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban tidak hanya diajukan kepada
segelintir pihak seperti penanggung jawab proyek dan direktorat jendral
anggaran departemen keuangan , melainkan kepada semua pihak khususnya kepada
lembaga-lembaga control seperti DPR yang membidanginya serta kepada masyarakat.
Disamping itu, prinsip akuntabilitas akan menekankan pentingnya proses
penganggaran keuangan yang lebih memfokuskan pada produk-produk anggaran yang
riil. Demikian juga dengan forum-forum untuk penentuan anggaran dana pembanguna
harus dilakukan dengan cara yang mudah sehingga masyarakat memiliki akses untuk
forum-forum tersebut jika forum-forum penganggaran biaya pembangunan itu rumit
atau terkesan rahasia maka akan menjadi sasaran koru[tor untuk memainkan peran
jahatnya dengan maksimal.
2.)
Berkenaan dengan upaya-upaya evaluasi. Selama ini evaluasi hanya terbatas
sebagai penilaian dan evaluasi terhadap kinerja administrasi dan proses
pelaksanaan seperti diuraikan sebelumnya dan tidak dilakukan. Evaluasi terhadap
dampak dan manfaat yang diberikan oleh setiap proyek kepada masyarakat, baik
dampak langsung maupun manfaat jangka panjang setelah beberapa tahun proyek itu
dilaksanakan. Sector evaluasi merupakan sector yang wajib di akuntabilitasi
demi menjaga kredibilitas keuangan yang telah dianggarkan. Ketiadaan evaluasi
yang serius akan mengakibatkan tradisi penganggaran keuangan yang buruk.
TRANSPARANSI
Transparansi
merupakan prinsip yang menghartuskan semua proses kebijakan dilakukan secara terbuka, sehingga segala
bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh public. Transparansi menjadi pintu
masuk, sekaligus konrtol bagi seluruh proses dinamika structural kelembagaan
sluruh sector kehidupan public mensyatratkan adanya transparasi, sehingga tidak
terjadi distorsi dan penyelewengan yang merugikan masyarakat. Dalam bentuk yang
paling sederhana, keterikatan interaksi antar dua individu atau lebih
mengharuskan adanya keterbukaan. Keterbukaan dalam konteks ini merupakan bagian
dari kejujuran untuk saling menjunjung kepercayaan (trust) yang terbina antar
individu.
Dalam
konteks pemberantasan korupsi yang melibatkan kekuasaan dan keuangan, ada
sektorsektor yang mengharuskan keterlibatan masyarakat agar tidak terjebak
dalam lingkartan setan korupsi yang begitu akut dan menyengsarakan rakyat. Sektorsektor yang harus melibatkan
masyarakat adalah sebagai berikut:
Pertama,
proses penganggaran yang bersifat dari bawah ke atas (bottom up), mulai dari
perencanaan, implementasi, laporan pertanggungjawaban dan penilaian (evaluasi)
terhadap kinerja anggaran, hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan masyrakatr melakukan control terhadap
pengelolaan anggaran.
Kedua,
proses penyusunan kegiatan atau proyek pembangunan dan anggaran. Hal ini
terkait pula dengan proses pembahasan
tentang sumber-sumber pendanaan (anggartan pendapatan) dan alokasi
anggaran (anggaran belanja) pada semua tingkatan yang tidak cukup hanya melibatkan pihak-pihak tertentu.
Ketiga,
proses pembahasan tentang pembuatan
rancangan peraturan yang beraturan dengan strategi penggalangan dana
pembangunan dlam penetapan retribusi, pajak serta aturan-aturan lain yang
berkaitan dengan penganggaran pemerintah.
Keempat,
proses pembahasan tentang tata cara dan mekanisme pengelolaan proyek mulai dari
pelaksanaan tender, pengerjaan teknis, pelaporan financial pertanggung jawaban
secara teknis dari proyek yang dikerjakan oleh pimpinan proyek atau kontraktor.
Proses pengawasan dalam pelaksanam program dan proyek pembangunan yang
berkaitan dengan kepentinagn public atau pemenuhan kebutuhan masyarakat dan
yang lebih khusus lagi adalah proyek-proyek yang diusulkan oleh masyarakat
sendiri.
Kelima,
proses evaluasi terhadap penyelenggaraan proyek yang dilakukan secara terbuka
dan bukan hanya pertanggung jawaban secara administratif. Evaluasi harus
dilakukan sebagai pertanggung jawaban
secara teknis dan fisik dari seriap out put kerja-kerja
pembangunan.
Untuk
memperjelas gambaran peran serta masyarakat dalam proses transparansi kebijakan
pembangunan, khusunya yang bersentuhan dengan anggaran tersebut, maka dapat di
gambarkan sebagai berikut:
Dengan
demikian, secara teknis yang dapat dikembangkan dalam system penganggaran
hingga proses pelaksanaanya adalah adanya transparansi dan keterbukaan kepada
public. Salah contoh konkret yang lain adalah dalam hal tender pelaksanaan proyek, tender ini harus
dilakukan secara transparan, lelenag terbuka berdasarkan komitmen bersama
antara semua komponen (stakebolder) terkait dengan proyek yang akn
dikerjakan. demikian pula dalam hal pengawasan dan control, masyarakat harus
mendapat legitimasi dan secara yuridis mendapatkan pengakuan dari pemerintah.
Faktor lain adalah persyaratan jangka waktu teknis dari suatau proyek.
Kebanyakan penyimpangan terjadi karena tidak ada ketegasan atau penetapan
syarat jangka waktu teknis atau proyek proyek fisik). Sehubungan dengan ini,
maka seharusnya bukan hanya aspek ketepatan waktu penyelesain proyek yang ditetapkan bagi
setiap kontraktor, dimana pekerjaan dianggap selesai setelah serah terima hasil
(out put) pekerjaan. Akan tetapi harus ada pertanggung jawaban waktu
teknis dari setiap output pekerjaan. Misalnya, pertanggung jawaban
terhadap kualitas pekerjaan yang telah diselesaikan (ada garansi hasil pekerjaan dari kontraktor sebagi jaminan atas kualitas
pekerjaan yang diselesaiakan), khususnya untuk proyek-proyek fisik.
Kurangya
transparansi dalam pengelolaan keuangan Negara ini dapat dilihat dari tidak
tertatanya adminidtrasi keuangan Negara dengan baik. Hal ini misalnya bias
dilihat dari aliran dana tertentu (non
budgeter) yang ada dibeberapa departemen. Dana-dana tersebut biasanya hanya
diketahui segelintir orang. Tentu saja semua itu merupakan makanan empuk bagi
para pejabat bermental korup. Ketidaktahuan
masyarakat akan dana-dana tersebut memberikan keleluasaan bagi oknum
aparat untuk menikmatinya sesuka hati. Jika saja dana-dana non-bujeter tersebut - yang tentu saja bisa berasal dari APBN –
maka bias dipastikan betapa besar kerugian Negara yang harus ditanggung oleh
karenanya, masyarakat harus memiliki akses terhadap pengelolaan keuangan
Negara, sehingga ketidaktahuan rakyat akan dana-dana tersebut tidak terulang
kembali.
Transparansi
pengelolaan keuangan negara sangat mendesak untuk dilakukan semua itu penting
agar lembaga-lembaga control sepeti DPR maupun lembaga control dari lsm
mendapatkan kemudahan untuk mengetahui segenap dana-dan yang tidak terdeteksi
atau tidak diketahui umum. Oleh karenanya, salah satu bentuk umum dari metode
transparansi keuanagn Negara ini adalah diharuskannya pemisahan fungsi
kepengurusan pembukuan (book keeping). Rentang kendali seperti ini
diharapkan tidak menimbulkan rendahnya control (pengendalian intern), sehingga
dapat menimbulkan in-efisiensi dan ketidakefektifan pengelolaan keuangan
Negara.
Proses
transparansi di masing-masing Negara berbeda-beda. Di hongkong misalnya, badan
yang bertugas mengatasi korupsi diberi wewenang untuk mempelajari dan menelah
tata kerja di instansi atau kantor tersebut. Dari teknis tersebut kemudian di
buat rekomendasi kepada instansi atua kantor yang bersangkutan tentang
bagaimana tata cara kerja yang seharusnya di lakukan supaya tidak terjadi
korupsi, atau setidaknya memperkecil kemungkinan tewrjadinya korupsin dengan
tata cara yangb di rekomendasikan tersebut. Langakah ini member inisiatif kepad
lembaga pengontrol untuk tidak hanya menilai kinerja sebuah lembaga melalui
laporan kegiatan dan evaluasi semata. Lembaga komntrol ini secara aktif
mengamati secara langsung mekanisme kerja masinh-masing lembaga, sehingga
mereka mengetahui proses terjadinya korupsi sekaligus mengambil langkah-langkah
penyelesainnya.
FAIRNESS
Fairness
merupakan salah satu prinsip antikorupsi yang mengedepankan kepatuhan atau
Kewajaran.
Prinsip fairness saesungguhnya lebih ditujukan untuk mencegah terjadinya
manipulasi dalam penganggaran proyek pembangunan, baik dalam bentuk merk up maupun
ketidakwajaran kekuasaan lainnya. Jika mempelajari definisi korupsi sebelumnya,
maka dalam korupsi itu sendiri terdapat unsur-unsur manipuilasi yang
penyimpangan baik dalam bentuk anggaran, kebijakan, dan sebagainya.
Berdasarkan
kondisi tersebut maka, maka para perumus kebijakan pembangunan menekankan
pentingnya prinsip fairness dalam proses penganggaran hingga
pelaksanaanya. Prinsip ini merupakan bagian dari tegaknya Good Coorperate
Governance (GCG). Munculnya wacana GCG yang salah satunya berprinsipkan fairness
(kewajaran) ini dilatarbelakangi oleh terjadinya skandal keuangan secara
beruntun yang menerpa perusahaan-perusahaan besar di AS, seperti enron, Qwest
Communications, Global crossing, Tyco dan Worldcom. Skandal keuangan tersebut
di lakukan oleh para penjahat kelas elit, di mana tindakan mereka ini sering di
seburt sebagai kejahatan kerah putih (White collar crime).
Hyzell croal dalam bukunya White collar
crime (kejahatan kerah putih) merumuskan kejahatan kerah putih atau
koruptor sebagai kejahatn ornag-orang yang menyukai cara-cara licik. Menipu
,dan jauh dari sifat-sifat fairness. Croall berkata: “white collar
crime is defined as the abuse of legimate occupational rol which is regulated
by law. Selanjutnya dikatakanya pula the tirm white collar crime with
fraud embexxl ment and other offences associated bigh status employess. Apa
yang menjadi makna pernyataan croall tersebut adalah bahwa kejahatn yang sellu
menggorogoti aset perusahaan dalam jumlah besar ini, umumnya di lakukan dengan
cara menipu, menggelapkan, dan cara-cara licik lainnya. Mereka adalah
orang-orang yang tidak jujur (unfair) dan tidak menyukai kejujuran (dislike to fairness).
Untuk menghindari pelanggaran terhadap
prinsip fairness, khususnya dalam proses penganggaran, di perlukan
beberapa lanhkah sebagai berikut:
Pertama, komprehensif dan disiplin yang
berarti mempertimbangkan keseluruhan aspek, berkesinambungan, taat asas,
prinsip pembebanan, pengeluaran, dan tidak melampaui batas (off budget).
Asas ini di maksudkan agar anggaran bias di manffatkan secara sewajarnya.
Kedua,fleksibilitas yaitu adanya diskresi
tertentu dalam konteks efisiensi dan
efektibilitas (prinsip tak tersangka, perubahan, pergeseran, dan dio
sentralisasi manajemen).
Ketiga, terprediksi, yaitu ketetapan
perencanaan atasa dasar asas value vor money dan menghindari defisit
dalam trahun anggaran berjalan. Anggaran yang terprediksi merupakan cerminan
dari adanya prinsip fairness di dalam proses pembangunan. Sudah menjadi
kewajaran manakala anggaran pembangunan ini sebisa mungkin menghindari deficit.
Pada waktu-waktu lalu, terjadinya deficit sering di akibatkan oleh tingkah
polah koruptor yang sengaja mengeruk-ngeruk anggaran pembangunan yang sudah
pasti. Akibatnya pemerintah harus membayar kerugian-kerugian defisat tersebut. Keempat, kejujuran, yaitu adanya bias
perkiraan penerimaan maupun pengeluaraan yang di sengaja, yang berasal dari
pertimbangan teknis maupun politis. Kejujuran merupakan bagian pokok dari
prinsip fairness. Dengan kejujuran, maka segala hal yang bersangkuran
dengan pembangunan, baik mulai dari proses penganggaran hingga pelaksanaanya
harus sesuai dengan apa yang di tetapkan. Tidak lagi terjadi nantinya bahwa ap
yang menjadi kenyataan di lapangan berbeda dengan apa yang telah di rumuskan.
Semuanya harus wajar, harus jujur, dan berjalan dengan seperti apa yang di
rencanakan dan di tetapkan.
Kelima, informative, yakni perlu system
informasi pelaporan yang teratur dan informative sebagai dasar penilaian
kinerja, kejujuran dan proses pengembalian keputusan. Sifat informatif
merupakan cirri khas dari kejujuran. Pemerintah yang informatif dan membantu
kerja-kerja lembaga control seperti DPR, LSM maupun masyarakat secara langsung,
berarti merupakan pemerintah yang telah bersikap wajar dan jujur dan tidak
menutup-nutupi apa yang memang harus di sampaikan.
Prinsip fairness akan teraktualisasi
secara signifikan apabila didukung oleh prinsip meritokrasi, yaitu sebuah
system yang menekankan pada kualitas, kompetensi, dan prestasi seseorang selama
ini, prinsip meritokrasi terabaikan oleh adanya ikatan-ikatan primordial yang
di dukung oleh kekuasaan yang birokratis-sentralistik, sehingga memancing
timbulnya tindakan-tindakan yang menyimpang dari prinsip-prinsip kewajaran
Dengan demikian, prinsip fairness bertujuan
mencegah menjalarnya praktekpraktek ketidakwajaran, baik berupa penipuan maupun
penyimpangan dalam segala level kehidupan. di samping itu, fairness dapat
menggiring setiap proses pembangunan khususnya yang berkaitan dengan
penganggaran berjalan secara wajar, jujur, dan sesuai dengan prosedur yang
telah di sepakati bersama pemerintah dan rakyat.
KEBIJAKAN ANTIKORUPSI
Kebijakan
merupakan sebuah usaha mengatur tata interaksi dalam ranah sosial. Korupsi
sebagai bentuk kejahatan luar biasa yang mengancam tata kehidupan berbangsa
telah memaksa setiap Negara membuat undang-undang untuk mencegahnya. Beberapa
Negara membuat aturan main anti korupsi yang mempersempit ruang gerak perilaku
korupsi. Kebijakan tersebut tidak selalu identik dengan undang-undang anti
korupsi, namu bias berupa undang-undang
kebebasan mengakses informasi, undang-undang di sentralisasi,
undang-undang anti monopoli, mauoun yang lainnya yang dapat memudahkan
masyarakat mengetahui sekaligus mengontrol kinerja dan penggunaan anggaran
Negara oleh para pejabat Negara.
Signifikan
kebijakan anti korupsi terletak padsa asumsi bahwa hokum atau penegakan hokum
di yakini sebagai cara efektif untuk mengendalikan naluri berbuat korupsi.
Korupsi bagian dari nilai-nilai yang ada dalam diri seseorang dapat di
kendalikan dan di control oleh peraturan atau undang-undang langkah ini
merupakan subsistem dari keseluruhan sistem kehidupan sebuah Negara yang
merangkul sekaligus menat beragam kepentigan, demi terciptanya sebuah
kenegaraan yang harmonis.
Kebijakan
antikorupsi dapat di lihat dalam beberapa perspektif:
Pertama,isi
kebijakan. Komponen penting dari sebuah kebijakan adalah konten atau isi dari
kebijakan tersebut. Dengan kata lain, kebijakan anti-korupsi menjadi efektif
apabila di dalamnya terkandung unsure-unsur yang terkait dengan persoalan
korupsi sebagai focus dari kegiatanm tersebut. Paling tidak, di dalamnya terkandung
unsure-unsur yang secara teoretis dapat menjawab persoalan yang hendak di atur
dalam kebijakan antikorupsi.
Kedua,
pembuat kebijakan. Kebijakan antikorupsi tidak bias dilepaskan dari para
pembuat kebijakan. Paling tidak, isi dari kebijakan merupakan cermin dari
kualitas dan integritas pembuatnya. Sekaligus akan menentukan kualitas isi
kebijakan tersebut. Apabila pembuat kebijakan antikorupsi adalah mereka yang
tidak memahami duduk masalah korupsi atau justru mereka menjadi bagian dari
carut marut perilaku koruptif, maka alih-alih dapat menjadi control dan
memberikan jalan dari tindakn korupsi, justru tindakan tersebut bias menjadi
bumerang bagi pemberantasan korupsi.
Ketiga,
penegakan kebijakan. Kebijakan yang telah di buat dapat berfungsi apabila di
dukung oleh actor-aktor penegak kebiajakn itu sendiri. Penegak kebijakan dalm
struktur kenegaraan modern terdiri dari kepolisian, pengadilan, pengacara, dan
lembaga pemasyarakatan. Apabila penegak kebijakan tidak memiliki komitmen untuk
meletakkanya sebagai aturan yang mengikat bagi semua, termasuk bagi dirinya,
maka sebuah kebijakan hanya akan menjadi instrumen kekuasaan yang justru
melahirkan kesenjangan, Ketidakadilan, dan bentuk penyimpangan lainya.
Keempat,
kultue kebijakan (hokum). Eksitensi sebuah kebijakan terkait dengan
nilai-nilai, pemahaman, sikap, persepsi, dan kesadaran masyarakat terhadap
hokum undang-undang anti korupsi. Lebih jauh kultur kebijakan ini akan
menentukan tingkat partisipasi
masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Keempat
hal tersebut akan menentukan efektifitas pelaksanaan dan fungsi sebuah
kebijakan. Dalam konteks kebijakan antikorupsi, maka keempat komponen tersebut
akan berpengaruh terhadap efektifitas pemberantasan korupsi melalui kebijakan
yang ada.
Namun,
sebagai produk politik, sebuah kebijakan seringkali tidak berfungsi secara
maksimal baik karena adanya intervensi kekuasaan maupun karena tidak di potong oleh sistem maupun
budaya masyarakat. Akibatnya, langkah pemberantasan korupsi yang seharusnya
bias efektif melalui peraturan tidak berjalan secara normal. hal ini bias di
lihat dari sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia yang belum mampu
menghasilkan kerja maksimal di bandingkan dengan keberadaan undang-undang atau
peraturan antikorupsi yang sudah ada sejak lama. Bahkan sebagai Negara asia
yang memiliki undang-undang antikorupsi, Indonesia jusdtru berada di tingkat
yang sangat rendah dalam peringkat Negara-negara yang bebas dari korupsi.
CONTROL KEBIJAKAN
Mengapa
perlu control kebijakan ? jawaban yang pasti atas pertanyaan ini adalah karena
tradisi pembangunan yang di anut selama ini lebih bersifat sentralistik.
Menurut David Korten lebih dari tiga
dasawarsa, pembangunan di ansumsikan dari pemerintah dan untuk pemerintah sendiri.
Ini berarti bahwa fungsi, peran, dan kewenangan pemerintah teramat dominan
hingga terkesan bahwa proses kenegaraan hanya menjadi tugas pemerintah dan sama
sekali tidak perlu melibatkan rakyat. Seolah-olah, pemerintah dan sama sekali
tidak perlu melibatkan rakyat. Seolah-olah, pemerintah paling mengetahui seluk
beluk kehidupan masyarakat di negaranya. Itulah sebabnya, di tengah arus
demokratisasi, paradigma tersebut harus di rekonstruksi sehingga tumbuh tradisi
baru berupa control kebijakan.
Tradisi
control kebijakan ini memeiliki perbedaan di berbagai Negara di dunia. Negara
dengan basis sistem politik dan sistem pengawasan kebijakan yang lemah semisal
di Negara-negara berkembang, lebih rentan bagi tumbuh suburnya korupsi dari
pada di Negara- Negara modern yang memiliki sistem politik serta control yang
relatif kuat. Control sosial dan control lembaga pada Negara-negara berkembang
dan terbelakang relatif masih lemah, sehingga tidak mempu membendung perilaku
aparat pemerintah dalam melakukan tindakan
penyimpoangan dan penyelewengan.
Kenyataan
tersebut menunjukkan adanya peran pemerintyah yang begitu kuat (exevutive
beavy), sehingga memaksa semua pihak berada dalam kendalanya tanpa reserve.
Masalah ini m,enjadi semakin kompleks ketika persoalan mentalitas di kalangan
aparat pemerintah lebih menonjolkan kepentinganya masing-masing.
Konsekuensinya, pembangunan tidak hanya menjadi kaku dalam pelaksanaanya,
tetapi sering memihak pada kelompok ekonomi dan sosial yang kuat. Memihak pada
kelompok yang kuat akan lebih menjanjikan imbalan materi bagi aparat pelaksana
proyek dari pada memihak pada kelompok yang lemah.
Dari
perspektif di atas, hubungan kolusi antara penguasa dan pengusaha acapkali
terjadi dalam bingkai terlalu dominannya kekuasaan yang tidak di imbangi oleh
pengawasan dan control kebijakan. Tidak adanya pengawasan dan kebijakan
terhadap pemerintah menyebabkan pemerintah sering kali mengambil kebijakan yang
hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan banyak orang. Control kebijakan merupakan salah satu cara
yang jitu untuk memberantas atau minimal mengurangi tindakn korupsi yang merajalela.
Terbentuknya
lembaga atau forum-forum yang peduli terhadap masalah- masalah penganggaran
merupakan embrio bagi tumbuh dan berkembangya gerakan rakyat untuk melakukan
control dan pengawasan kepada pemerintah. Pada saat kesadaran masyarakat yang
kian bangkit itu, maka langkah-langkah yang
dan konkret dari setiap lembaga di harapkan mengembalikan tiga strategi
pokok yang saling terkait yaitu: analisis kebijakan, advokasi, dan pemberdayaan
komunitas local. Semuanya mengarah pada upaya menciptakn proses-proses
penganggaran yang transparan untuk kepentingan masyarakat local dan daerah.
Paling
tidak terdapat tiga model control terhadap kebijakan pemerintah, yaitu oposisi,
penyempurnaan, dan perubahan terhadap pemerintah. Penggunaan tioga model
control tersebut tergantung pada bentuik rumusan dan pelaksanaan kebijakan
pemerintah serta pilihan politik yang
hendak di bangun. Namun, substansi dari ketiga model itu adalah keterlibatan
masyarakat dalam mengontrol kebijakan Negara. Dengan mengacu kepada
prinsip-prinsip penganggaran dan pengelolaan keuangan Negara, yakni tertib
waktu dan administrasi, taat perundang-undangan, transparan, akuntabilitas, alokasi dan
distribusi, stabilitas dan kepatuhan seta keadilan, maka keterlibatan rakyat
menjadi sangat strategis. Keterlibatan rakyat dalam proses penganggaran tidak
hanya pada tahap perencanaan atau program hingga proyek, tetapi juga pada saat
pembahasan dan pengalokasian anggaran. Lebih jauh lagi rakyat juga harus
terlibat ketika anggaran itu di kelola di lapangan, pada saat di turunkan dalam
bentuk proyek baik kegiatan yang berbentuk fisik maupun non-fisik. Peran dan
keterlibatan rakyat dalam melakukan pengawasan dan control pada saat
implementasi sangat penting untuk menghindari adanya penyelewengan dan
penyimpangan anggaran. Termasuk pula dalam hal evaluasi dan penelitian kinerja
anggaran, rakyat atau masyarakat tetap harus ikut bertanggung jawab untuk
melakukannya sebagai bahan dalam menyusun rencana kegiatan atau program
selanjutnya.
Secara
lebih focus, yang menjadi sasaran pengawasan dan control public dalam proses
pengewloolaan anggaran Negara adalah: pertama, berkaitan dengan
konsistensi dalam perencanaan program atau kegiatan. Dan kedua, berkaitan
denghan pelaksanaan penganggaran itu sendiri.
Melalui
focus atau sasaran pertama, program program kegiatan atau proyek yang di
tetapkan DPR/DPRD bersama dengan pemerintah (presiden, gubernur, dan bupati)
harus sesuai denghan yang di usulkan oleh rakyat dan sesuai puila dengan
kegiatan proyek/program yang telah disosialisasikan kepada rakyat.
Sementara
melalui focus dan sasaran yang kedua, dimaksudkan agar masyarakat secara
intensif melakukan control dan pengawasan terhadap sector-sektro yang meliputi:
1.
Sumber-sumber pendapatan Negara yang utama seperti pajak dan retribusi,
penjualan migas dan sumber-sumber lain yang di kelolah oleh pemerintah.
2.
Tata cara penarikan dana dari berbagai sumber anggaran Negara seperti proses
penepatan pajak retribusi dan penetapannya, dana perimbangan (pusat dan
daerah), penetapan pinjaman luar negeri dan pengolalanya dalam penganggaran.
3.
Memonitor lapangan pertanggung jawaban pelaksanaan proyak yang di sampaikan
oleh kontraktor atau pemimpin proyek, baik secara administrasi maupun kualitas
pekerjaan secara fisik.
4.
Limit waktu dalam penyelesaian proyek tidak hanya dibatasi pada aspek ketepatan
dalam penyelesaiaan proyek dimana proyek dianggap selesai setelah serah terima
hasil (out put) pekerjaan, tetapi harus ada pertanggung jawaban teknis
terhadap kualitas setiap pekerjaan yang telah dikerjakan , terutama
proyek-proyek fisik.Dengan demikian, control terhadap kebijakan mulai proses
pembuatan sampai pelaksanaan dan dampat yang di hasilkan dapat dievaluasi dan
terus di sempurnakan. Lebih dari itu, seluruh rangkaian kebiojakan tersebut
dapat menutup peluang bagi berseminya korupsi.
v Nilai Nilai Anti
Korupsi
KEJUJURAN
KEPEDULIAN
KEMANDIRIAN
7.Perangkat
Hukum Anti Korupsi
Berikut
ini beberapa perangkat hukum anti korupsi :
• UU RI no. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Conventiont Againts Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa – Bangsa Anti Korupsi, 2003). Disahkan di Jakarta, pada tanggal 18 April 2006 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Terdiri 2 pasal.
• UU RI no. 30 tahun 2000 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Disahkan di Jakarta, pada tanggal 27 Desember 2002 Terdiri dari 12 Bab, dan 72 Pasal.
• UU RI no. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Conventiont Againts Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa – Bangsa Anti Korupsi, 2003). Disahkan di Jakarta, pada tanggal 18 April 2006 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Terdiri 2 pasal.
• UU RI no. 30 tahun 2000 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Disahkan di Jakarta, pada tanggal 27 Desember 2002 Terdiri dari 12 Bab, dan 72 Pasal.
• UU RI
no. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Daftar
Peraturan Perundang-undangan di bidang Tindak Pidana Korupsi
NO.
|
NOMOR PERATURAN
|
JUDUL PERATURAN
|
||
1
|
Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1980 |
Tindak Pidana Suap
|
||
2
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
|
Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
|
||
3
|
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994
|
Perubahan UU 6-1983 Tentang
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
|
||
4
|
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
|
Penyelenggaraan Negara Yang
Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
|
||
5
|
Undang-Undang 31 Tahun 1999
|
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
|
||
6
|
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000
|
Perubahan Kedua UU 6-1983 Tentang
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
|
||
7
|
Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 |
Perubahan Atas Undang-undang No.
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
|
||
8
|
Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 |
Kepolisian Negara Republik Indonesia
|
||
9
|
Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 |
Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
|
||
10
|
Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 |
Mahkamah Konstitusi
|
||
11
|
Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 |
Kejaksaan Republik Indonesia
|
||
12
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006
|
Bantuan Timbal Balik Dalam
Masalah Pidana
|
||
13
|
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2006 |
Pengesahan United Nations
Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi PBB Menentang Korupsi, 2003)
|
||
14
|
Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2006 |
Badan Pemeriksa Keuangan
|
||
15
|
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
|
Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata cara
Perpajakan
|
||
16
|
Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008 |
Keterbukaan Informasi Publik
|
||
17
|
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009
|
Pengesahan United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi)
|
||
18
|
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
|
Pelayanan Publik
|
||
19
|
Undang-Undang Nomor 46
Tahun 2009 |
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
|
||
20
|
Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 |
Kekuasaan Kehakiman
|
||
21
|
Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2010 |
Pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti UU No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
|
||
22
|
Undang-Undang No. 8
Tahun 2010 |
Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang
|
||
22
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
|
Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
|
||
PERATURAN
PEMERINTAH
|
||||
1
|
Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2000 |
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
|
||
2
|
Peraturan Pemerintah
Nomor 71 Tahun 2000 |
Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
|
||
3
|
Peraturan Pemerintah
Nomor 57 Tahun 2003 |
Tata Cara Perlindungan Khusus
Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang
|
||
4
|
Peraturan Pemerintah
Nomor 63 Tahun 2005 |
Sistem Manajemen Sumber Daya
Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi
|
||
5
|
Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006
|
Pelaporan Keuangan Dan Kinerja
Instansi Pemerintah
|
||
6
|
Peraturan Pemerintah
Nomor 29 Tahun 2006 |
Hak Keuangan Kedudukan Protokol
Dan Perlindungan Keamanan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
|
||
7
|
Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008
|
Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah
|
||
8
|
Peraturan Pemerintah
Nomor 36 Tahun 2009 |
Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 2006 tentang Hak Keuangan, Kedudukan Protokol, Dan
Perlindungan Keamanan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
|
||
PERATURAN
PRESIDEN
|
||||
1
|
Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun
2005
|
Uang Kehormatan Bagi Hakim Pada
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
|
||
2
|
Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun
2006
|
Honorarium Bagi Ketua, Wakil
Ketua, Anggota, dan Sekretaris Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
|
||
3
|
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun
2010
|
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
|
||
4
|
Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun
2010
|
Grand Design Reformasi Birokrasi
2010-2025
|
||
5
|
Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun
2010
|
Perubahan Atas Peraturan Presiden
Nomor 49 Tahun 2005 Tentang Uang Kehormatan Bagi Hakim Pada Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi
|
||
KEPUTUSAN
PRESIDEN
|
||||
1
|
Keputusan Presiden
Nomor 1 Tahun 2004 |
Komite Koordinasi Nasional
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
|
||
2
|
Keputusan Presiden
Nomor 45 Tahun 2004 |
Pengalihan Organisasi,
Administrasi, dan Finansial Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara ke Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
|
||
3
|
Keputusan Presiden
Nomor 59 Tahun 2004 |
Pembentukan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
|
||
4
|
Keputusan Presiden
Nomor 10 Tahun 2007 |
Pengakhiran Tugas dan Pembubaran
Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
|
||
INSTRUKSI
PRESIDEN
|
||||
1
|
Intruksi Presiden
Nomor 30 Tahun 1998 |
Pemberantasan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
|
||
2
|
Intruksi Presiden
Nomor 2 Tahun 2004 |
Inpres
2/2004 Dukungan Kelancaran Pelaksanaan Proses Hukum Oleh Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dan Penyelenggaraan Pemerintahan Di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
|
||
3
|
Intruksi Presiden
Nomor 5 Tahun 2004 |
Percepatan
Pemberantasan Korupsi
|
||
4
|
Intruksi Presiden
Nomor 9 Tahun 2011 |
Rencana Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 2011
|
||
PERATURAN
MENTERI
|
||||
1
|
Peraturan Menteri Hukum dan HAM
RI Nomor M.HH-01.PW.02.03
|
Pedoman Penetapan Wilayah Bebas
Korupsi (WBK) Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
|
||
2
|
Permen PAN dan Reformasi
Birokrasi Nomor 7 Tahun 2010
|
Pedoman Penilaian Kinerja Unit
Pelayanan Publik
|
||
3
|
Permen PAN dan reformasi
Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010
|
Road Map Reformasi 2010-2014
|
||
4
|
Permen PAN dan Reformasi
Birokrasi Nomor 29 Tahun 2010
|
Pedoman Penyusunan Penetapan
Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
|
||
ü UU RI NOMOR 7 TAHUN 2006 dan UU RI NOMOR 30 TAHUN
2002
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Tindak
Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penyelenggara
Negara adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Pemberantasan
tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas
tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran
serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 2
Dengan
Undang-Undang ini dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
untuk
selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 3
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara
yang dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun.
Pasal 4
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan
meningkatkan daya guna dan hasil
guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Pasal 5
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan
Korupsi berasaskan pada:kepastian hukum;keterbukaan;akuntabilitas;
kepentingan umum dan proporsionalitas.
BAB II
TUGAS, WEWENANG, DAN KEWAJIBAN
Pasal 6
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak
pidana korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Pasal 7
Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi;
b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan
tindak pidana korupsi kepada
instansi yang terkait;
d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
dan
e. meminta laporan instansi terkait mengenai
pencegahan tindak pidana korupsi.
Pasal 8
(1) Dalam melaksanakan tugas supervisi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan
pengawasan, penelitian, atau
penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas
dan wewenangnya yang
berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana
korupsi, dan instansi yang dalam
melaksanakan pelayanan publik.
(2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih
penyidikan atau penuntutan
terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang
dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan.
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil
alih penyidikan atau
penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib
menyerahkan tersangka dan seluruh
berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain
yang diperlukan dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung
sejak tanggal diterimanya
permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan dengan membuat dan
menandatangani berita acara penyerahan sehingga
segala tugas dan kewenangan
kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan
tersebut beralih kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Pasal 9
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan
alasan:
98
a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi
tidak ditindaklanjuti;
b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara
berlarut-larut atau tertunda-tunda
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk
melindungi pelaku tindak pidana
korupsi yang sesungguhnya;
d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur
korupsi;
e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena
campur tangan dari eksekutif,
yudikatif, atau legislatif; atau
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian
atau kejaksaan, penanganan
tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik
dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Pasal 10
Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9, Komisi Pemberantasan
Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut
umum untuk mengambil alih tindak
pidana korupsi yang sedang ditangani.
Pasal 11
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf c, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara
negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum
atau penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;
dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 12
(1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan
Korupsi berwenang:
a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk
melarang seseorang
bepergian ke luar negeri;
c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga
keuangan lainnya tentang
keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang
diperiksa;
d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan
lainnya untuk memblokir
rekening yang diduga hasil dari korupsi milik
tersangka, terdakwa, atau pihak
lain yang terkait;
e. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan
tersangka untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
f. meminta data kekayaan dan data perpajakan
tersangka atau terdakwa kepada
instansi yang terkait;
g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan,
transaksi perdagangan,
dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara
perizinan, lisensi serta
konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka
atau terdakwa yang diduga
99
berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya
dengan tindak pidana
korupsi yang sedang diperiksa;
h. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi
penegak hukum negara lain
untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan
penyitaan barang bukti di luar
negeri;
i. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain
yang terkait untuk melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan
dalam perkara
tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf d,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan
langkah atau upaya pencegahan
sebagai berikut:
a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap
laporan harta kekayaan
penyelenggara negara;
b. menerima laporan dan menetapkan status
gratifikasi;
c. menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi
pada setiap jenjang pendidikan;
d. merancang dan mendorong terlaksananya program
sosialisasi pemberantasan tindak
pidana korupsi;
e. melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat
umum;
f. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal 14
Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan
administrasi di semua lembaga
negara dan pemerintah;
b. memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan
pemerintah untuk melakukan
perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem
pengelolaan administrasi
tersebut berpotensi korupsi;
c. melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia,
Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan,
jika saran Komisi
Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan
tersebut tidak diindahkan.
Pasal 15
Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban:
a. memberikan perlindungan terhadap saksi atau
pelapor yang menyampaikan laporan
ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya
tindak pidana korupsi;
b. memberikan informasi kepada masyarakat yang
memerlukan atau memberikan
bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan
dengan hasil penuntutan tindak
pidana korupsi yang ditanganinya;
c. menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya
kepada Presiden Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, dan Badan Pemeriksa
Keuangan;
d. menegakkan sumpah jabatan;
e. menjalankan tugas, tanggung jawab, dan
wewenangnya berdasarkan asas-asas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
BAB III
TATA CARA PELAPORAN DAN PENENTUAN STATUS GRATIFIKASI
Pasal 16
Setiap
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib
melaporkan
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut:
a.
Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana
ditetapkan
oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan
gratifikasi.
b.
Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-kurangnya memuat:
1)
nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;
2)
jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara;
3)
tempat dan waktu penerimaan gratifikasi;
4)
uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan
5)
nilai gratifikasi yang diterima.
Pasal 17
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal laporan diterima wajib
menetapkan status kepemilikan
gratifikasi disertai pertimbangan.
(2) Dalam menetapkan status kepemilikan gratifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat memanggil
penerima gratifikasi untuk
memberikan keterangan berkaitan dengan penerimaan
gratifikasi.
(3) Status kepemilikan gratifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat berupa penetapan status kepemilikan
gratifikasi bagi penerima
gratifikasi atau menjadi milik negara.
(5) Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan
keputusan status kepemilikan
gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
kepada penerima gratifikasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
tanggal ditetapkan.
(6) Penyerahan gratifikasi yang menjadi milik negara
kepada Menteri Keuangan,dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung
sejak tanggal ditetapkan.
Pasal 18
Komisi Pemberantasan Korupsi wajib mengumumkan
gratifikasi yang ditetapkan menjadi
milik negara paling sedikit 1 (satu) kali dalam
setahun dalam Berita Negara.
BAB IV
TEMPAT KEDUDUKAN, TANGGUNG JAWAB, DAN SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 19
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di
ibukota negara Republik Indonesia
dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara
Republik Indonesia.
(2) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk
perwakilan di daerah provinsi.
Pasal 20
(1)
Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya
dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa
Keuangan.
(2)
Pertanggungjawaban publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
cara:
a. wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban
keuangan sesuai dengan program kerjanya;
b. menerbitkan laporan tahunan; dan
c. membuka akses informasi.
Pasal 21
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas
a. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang
terdiri dari 5 (lima) Anggota
Komisi Pemberantasan Korupsi;
b. Tim Penasihat yang terdiri dari 4 (empat)
Anggota; dan
c. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai
pelaksana tugas.
(2) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a disusun sebagai berikut:
a. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi merangkap
Anggota; dan
b. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri
atas 4 (empat) orang,
masing-masing merangkap Anggota.
(3) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah pejabat negara.
(4) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penyidik dan penuntut umum.
(5) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif.
(6) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penanggung jawab tertinggi
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 22
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
mengangkat Tim Penasihat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b yang
diajukan oleh panitia seleksi
pemilihan.
(2) Panitia seleksi pemilihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibentuk oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(3) Panitia seleksi pemilihan mengumumkan penerimaan
calon dan melakukan kegiatan mengumpulkan calon anggota berdasarkan keinginan
dan masukan dari masyarakat.
(4) Calon anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat untuk mendapat tanggapan
sebelum ditunjuk dan diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan
calon yang diusulkan oleh panitia seleksi pemilihan.
(5) Setelah mendapat tanggapan dari masyarakat,
panitia seleksi pemilihan mengajukan 8 (delapan) calon anggota Tim Penasihat
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dipilih 4 (empat) orang anggota.
(6) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dilakukan paling lambat 3 (tiga)
bulan terhitung sejak tanggal panitia seleksi pemilihan dibentuk.
Pasal 23
Tim Penasihat berfungsi memberikan nasihat dan
pertimbangan sesuai dengan
kepakarannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam pelaksanaan tugas dan
wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 24
(1) Anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 adalah warga negara Indonesia yang karena kepakarannya diangkat oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c adalah warga negara Indonesia yang
karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara
pengangkatan pegawai Komisi
Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 25
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi:
a. menetapkan kebijakan dan tata kerja organisasi
mengenai pelaksanaan tugas
dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
b. mengangkat dan memberhentikan Kepala Bidang,
Kepala Sekretariat, Kepala
Subbidang, dan pegawai yang bertugas pada Komisi
Pemberantasan Korupsi;
c. menentukan kriteria penanganan tindak pidana
korupsi.
(2) Ketentuan mengenai prosedur tata kerja Komisi
Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Pasal 26
(1) Susunan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan 4 (empat) orang Wakil Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi.
(2) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) membawahkan 4 (empat) bidang yang terdiri atas:
a. Bidang Pencegahan;
b. Bidang Penindakan;
c. Bidang Informasi dan Data; dan
d. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan
Masyarakat.
(3) Bidang Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a membawahkan:
a. Subbidang Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan
Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara;
b. Subbidang Gratifikasi;
c. Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat;
dan
d. Subbidang Penelitian dan Pengembangan.
(4) Bidang Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b membawahkan:
a. Subbidang Penyelidikan;
b. Subbidang Penyidikan; dan
c. Subbidang Penuntutan.
(5) Bidang Informasi dan Data sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c
membawahkan:
a. Subbidang Pengolahan Informasi dan Data;
b. Subbidang Pembinaan Jaringan Kerja Antarkomisi dan
Instansi;
c. Subbidang Monitor.
(6) Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan
Masyarakat sebagaimana dimaksudpada ayat (2) huruf d membawahkan:
a. Subbidang Pengawasan Internal;
b. Subbidang Pengaduan Masyarakat.
(7) Subbidang Penyelidikan, Subbidang Penyidikan,
dan Subbidang Penuntutan, masingmasing membawahkan beberapa Satuan Tugas sesuai
dengan kebutuhan subbidangnya.
(8) Ketentuan mengenai tugas Bidang-bidang dan
masing-masing Subbidang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat
(4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 27
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi
Pemberantasan Korupsi
dibantu oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh
seorang Sekretaris Jenderal.
(2) Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden Republik Indonesia.
(3) Dalam menjalankan tugasnya Sekretaris Jenderal
bertanggungjawab kepada
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Ketentuan mengenai tugas dan fungsi Sekretariat
Jenderal ditetapkan lebih lanjut
dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 28
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan kerja
sama dengan pihak lain dalam rangka
pengembangan dan pembinaan organisasi Komisi Pemberantasan
Korupsi.
BAB V
PIMPINAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Pasal 29
Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi harus memenuhipersyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang
memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam
bidang hukum, ekonomi, keuangan,atau perbankan;
e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun
dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan;
f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang
tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;
i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan
lainnya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi;
j. tidak menjalankan profesinya selama menjadi
anggota Komisi Pemberantasan
Korupsi; dan
k. mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 30
(1) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan calon anggota yang diusulkan
oleh Presiden Republik Indonesia.
(2) Untuk melancarkan pemilihan dan penentuan calon
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Pemerintah membentuk panitia seleksi
yang bertugas melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(3) Keanggotaan panitia seleksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Setelah terbentuk, panitia seleksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3)mengumumkan penerimaan calon.
(5) Pendaftaran calon dilakukan dalam waktu 14
(empat belas) hari kerja secara terus menerus.
(6) Panitia seleksi mengumumkan kepada masyarakat
untuk mendapatkan tanggapan terhadap nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat
(4).
(7) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan
kepada panitia seleksi paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal
diumumkan.
(8) Panitia seleksi menentukan nama calon Pimpinan
yang akan disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia.
(9) Paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal diterimanya daftar nama calon dari panitia seleksi,
Presiden Republik Indonesia menyampaikan namacalon sebagaimana dimaksud pada
ayat (8) sebanyak 2 ( dua) kali jumlah jabatan yang dibutuhkan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(10) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
wajib memilih dan menetapkan 5 (lima) calon yang dibutuhkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (9), dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung
sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden Republik
Indonesia.
(11) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib
memilih dan menetapkan di antara calon sebagaimana dimaksud pada ayat (10),
seorang Ketua sedangkan 4
(empat) calon anggota lainnya dengan sendirinya
menjadi Wakil Ketua.
(12) Calon terpilih disampaikan oleh pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia kepada Presiden Republik Indonesia paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk
disahkan oleh Presiden Republik Indonesia selaku Kepala Negara.
(13) Presiden Republik Indonesia wajib menetapkan
calon terpilih paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 31
Proses pencalonan dan pemilihan anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 dilakukan secara transparan.
Pasal 32
(1) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti
atau diberhentikan karena:
a. meninggal dunia;
b. berakhir masa jabatannya;
c. menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana
kejahatan;
d. berhalangan tetap atau secara terus-menerus
selama lebih dari 3 (tiga) bulan
tidak dapat melaksanakan tugasnya;
e. mengundurkan diri; atau
f. dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi
tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.
(3) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Pasal 33
(1) Dalam hal terjadi kekosongan Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi, Presiden Republik Indonesia mengajukan calon anggota pengganti kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(2) Prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan
calon anggota yang bersangkutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31.
Pasal 34
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang
jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali
masa jabatan.
Pasal 35
(1) Sebelum memangku jabatan, Ketua dan Wakil Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di
hadapan Presiden Republik Indonesia.
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berbunyi sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh
bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan
sesuatu apapun kepada siapapun juga”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan
atau tidak melakukan
sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau
pemberian”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia
kepada dan akan mempertahankanserta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara,
Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan
yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan
menjalankan tugas dan
wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh, seksama,
obyektif, jujur, berani, adil,tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras,
jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan
sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa,
masyarakat, bangsa, dan negara”.“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa
akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan
siapapun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya
yang diamanatkan Undang-undang kepada saya”.
Pasal 36
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang:
a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung
dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana
korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun;
b. menangani perkara tindak pidana korupsi yang
pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke
atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan anggota Komisi Pemberantasan
Korupsi yang bersangkutan;
c. menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan,
organ yayasan, pengawas atau pengurus koperasi, dan jabatan profesi lainnya
atau kegiatan lainnya yang
berhubungan dengan jabatan tersebut.
Pasal 37
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
berlaku juga untuk Tim Penasihat dan
pegawai yang bertugas pada Komisi Pemberantasan
Korupsi.
BAB VI
PENYELIDIKAN, PENYIDIKAN, DAN PENUNTUTAN
Bagian KesatuUmum
Pasal 38
(1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik,
dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku
bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang
ini.
Pasal 39
(1) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi dilakukan
berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini.
(2) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak
untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3) Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang
menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari
instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai
pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 40
Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang
mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara
tindak pidana korupsi.
Pasal 41
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan
kerja sama dalam penyelidikan,penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
dengan lembaga penegak hukum negara lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian internasional yang
telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Pasal 42
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan
dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
yang dilakukan bersamasama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan
peradilan umum.
Bagian Kedua
Penyelidikan
Pasal 43
(1) Penyelidik adalah Penyelidik pada
Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(2) Penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan
fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi.
Pasal 44
(1) Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan
menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan
bukti permulaan yang cukup tersebut,penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi.
(2) Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada
apabila telah ditemukan sekurangkurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan
tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.
(3) Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak
menemukan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pemberantasan
Korupsi menghentikan penyelidikan.
(4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat
bahwa perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan
penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik
kepolisian atau kejaksaan.
(5) Dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian
atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepolisian atau kejaksaan
wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Bagian Ketiga
Penyidikan
Pasal 45
(1) Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan
Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi.
Pasal 46
(1) Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut
prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam
peraturan perundangundangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka.
Pasal 47
(1) Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan
yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan
Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya.
(2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang mengatur mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan
Undang-Undang ini.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan yang
sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, dan jumlah barang atau benda
berharga lain yang disita;
b. keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan,
dan tahun dilakukan penyitaan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai
barang atau benda
berharga lain tersebut;
d. tanda tangan dan identitas penyidik yang
melakukan penyitaan; dan
e. tanda tangan dan identitas dari pemilik atau
orang yang menguasai barang
tersebut.
(4) Salinan berita acara penyitaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disampaikan
kepada tersangka atau keluarganya.
Pasal 48
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak
pidana korupsi wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka.
Pasal 49
Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat
berita acara dan disampaikan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk
segera ditindaklanjuti.
Pasal 50
(1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi
dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara
tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi
tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat
14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.
(2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara
terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah
mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau
kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.
(4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan
oleh kepolisian dan/atau
kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi,
penyidikan yang dilakukan oleh
kepolisian atau kejaksaan tersebut segera
dihentikan.
Bagian Keempat
Penuntutan
Pasal 51
(1) Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan
Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melaksanakan fungsi
penuntutan tindak pidana korupsi.
(3) Penuntut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah Jaksa Penuntut Umum.
Pasal 52
(1) Penuntut Umum, setelah menerima berkas perkara dari
penyidik, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
berkas tersebut, wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan
Negeri.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Ketua Pengadilan Negeri wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari Komisi
Pemberantasan Korupsi untuk diperiksa dan diputus.
BAB VII
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 53
Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana
korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 54
(1) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di
lingkungan Peradilan Umum.
(2) Untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara bertahap dengan Keputusan
Presiden.
Pasal 55
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (2) juga berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana
korupsi yang dilakukan di luar wilayah negara Republik Indonesia oleh warga
negara Indonesia.
Pasal 56
(1) Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas
hakim Pengadilan Negeri dan hakim ad hoc.
(2) Hakim Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan
berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
(3) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia atas usul Ketua Mahkamah
Agung.
(4) Dalam menetapkan dan mengusulkan calon hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Ketua
Mahkamah Agung wajib melakukan pengumuman kepada masyarakat.
Pasal 57
(1) Untuk dapat ditetapkan sebagai hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) harus
memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. berpengalaman menjadi hakim sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) tahun;
b. berpengalaman mengadili tindak pidana korupsi;
c. cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi
selama menjalankan tugasnya; dan
d. tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin.
(2) Untuk dapat diusulkan sebagai hakim ad hoc Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain
yang mempunyai keahlian dan
berpengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas)
tahun di bidang hukum;
e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun
pada proses pemilihan;
f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang
tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;
dan
i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan
lainnya selama menjadi hakim
ad hoc.
Pasal 58
(1) Perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan
diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu 90 (sembilan puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2
(dua) orang hakim Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim
ad hoc.
Pasal 59
(1) Dalam hal putusan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi dimohonkan banding kePengadilan Tinggi, perkara tersebut diperiksa dan
diputus dalam jangka waktu palinglama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal berkas perkara diterima oleh
Pengadilan Tinggi.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri
atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang
hakim ad hoc.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57
juga berlaku bagi hakim ad hoc pada Pengadilan Tinggi.
Pasal 60
(1) Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana
Korupsi dimohonkan kasasi kepada Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan
diputus dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan oleh Majelis Hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2
(dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada
Mahkamah Agung harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain
yang mempunyai keahlian dan
berpengalaman sekurang-kurangnya 20 (dua puluh)
tahun di bidang hukum;
e. berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun
pada proses pemilihan;
f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang
tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;
dan
i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan
lainnya selama menjadi hakim
ad hoc.
Pasal 61
(1) Sebelum memangku jabatan, hakim ad hoc wajib
mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Presiden Republik
Indonesia.
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berbunyi sebagai berikut : “Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh
bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak akan memberikan atau menjanjikan
sesuatu apapun kepada siapapun juga”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan
atau tidak melakukan
sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau
pemberian”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia
kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan
yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan
menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan
orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban
saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang
petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”.
Pasal 62
Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
BAB VIII
REHABILITASI DAN KOMPENSASI
Pasal 63
(1) Dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat
penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan, yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi secara bertentangan dengan Undang-Undang ini atau dengan hukum yang
berlaku, orang yang bersangkutan berhak untuk mengajukan gugatan rehabilitasi
dan/atau kompensasi.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak
mengurangi hak orang yang dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan, jika
terdapat alasan-alasan pengajuan praperadilan sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
(3) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan kepada Pengadilan Negeriyang berwenang mengadili perkara tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
(4) Dalam putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditentukan jenis, jumlah, jangka waktu, dan cara pelaksanaan
rehabilitasi dan/atau kompensasi yang harus dipenuhi oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi
BAB IX
PEMBIAYAAN
Pasal 64
Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Komisi
Pemberantasan Korupsi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 65
Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 66
Dipidana dengan pidana penjara yang sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65, pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang :
a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung
dengan tersangka atau pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana
korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi tanpa alasan yang sah;
b. menangani perkara tindak pidana korupsi yang
pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke
atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan pegawai pada Komisi
Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan;
c. menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan,
organ yayasan, pengurus koperasi,dan jabatan profesi lainnya atau kegiatan
lainnya yang berhubungan dengan jabatantersebut.
Pasal 67
Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi dan pegawai
pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi,
pidananya diperberat dengan menambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana
pokok.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 68
Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat
terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Pasal 69
(1) Dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi
maka Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menjadi bagian Bidang Pencegahan pada
Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap menjalankan fungsi, tugas, dan
wewenangnya, sampai Komisi Pemberantasan Korupsi menjalankan tugas dan wewenangnya
berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 70
Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan tugas dan
wewenangnya paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 71
(1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini Pasal 27
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4150) dinyatakan tidak berlaku;
(2) Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menjalankan
tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, ketentuan mengenai
Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 19
dalam BAB VII Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor3851), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 72
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
PENJELASAN UU RI NOMOR 30 TAHUN 2002
UU RI NOMOR 31 TAHUN 1999
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
(1) Korporasi adalah kumpulan orang dan atau
kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
(2) Pegawai Negeri adalah meliputi:
a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang tentang
Kepegawaian;
b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-undang Hukum
Pidana;
c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan
negara atau daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu
korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi
lain yang mempergunakan
modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
(3) Setiap orang adalah orang perseorangan atau
termasuk korporasi.
BAB II
TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
Pasal 4
Pengembalian kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara tidak menghapuskandipidananya pelaku tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Pasal 5
Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (Lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 6
Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 7
Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387 atau Pasal 388 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 8
Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratuslima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh jutarupiah).
Pasal 9
Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 10
Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 417 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 11
Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 12
Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau
Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
Pasal 13
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai
negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan
atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan atau denda paling banyak RP. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 14
Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang
yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang
tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang ini.
Pasal 15
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan,
atau pemufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai
dengan Pasal 14
Pasal 16
Setiap orang di luar wilayah negara Republik
Indonesia yang memberikan bantuan,kesempatan, sarana, atau keterangan untuk
terjadi` tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5
sampai dengan Pasal 14.
Pasal 17
Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi
pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Pasal 18
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau
yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang
diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana
di mana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang
menggantikan barang-barang
tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi;
c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk
waktu paling lama 1 (satu)
tahun;
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu
atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau
dapat diberikan oleh
Pemerintah kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu)
bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda
yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi
ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang
ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Pasal 19
(1) Putusan pengadilan mengenai perampasan
barang-barang bukan kepunyaan
terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga
yang beritikad baik akan dirugikan.
(2) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) termasuk juga barang pihak ketiga yang mempunyai itikad baik, maka
pihak ketiga tersebut dapat mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang
bersangkutan, dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan
diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
(3) Pengajuan surat keberatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) tidak
menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan
pengadilan.
(4) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), hakim meminta keterangan penuntut umum dan pihak yang berkepentingan.
(5) Penetapan hakim atas surat keberatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung oleh pemohon
atau penuntut umum.
Pasal 20
(1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh
atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat
dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan
kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu
korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus
korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya
pengurus tersebut dibawa kesidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi,
maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut
disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus
berkantor.
(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3
(satu pertiga).
BAB III
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK
PIDANA KORUPSI
Pasal 21
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah,
merintangi, atau menggagalkan secaralangsung atau tidak langsung penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan
terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 22
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal
29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau
memberi keterangan yang tidak benar,dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 23
Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal
429 atau Pasal 430 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 24
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
atau denda paling banyak Rp150.000.000,000 (seratus lima puluh juta rupiah).
BAB IV
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG
PENGADILAN
Pasal 25
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara
lain guna penyelesaian secepatnya.
Pasal 26
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pasal 27
Dalam
hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat
dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung.
Pasal 28
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan
keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami,
anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang
diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan
tersangka.
Pasal 29
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau
pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang
meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau
terdakwa.
(2) Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi
permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap.
(4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta
kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa
yang diduga hasil dari korupsi.
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka
atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan penyidik,
penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran.
Pasal 30
Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita
surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi atau alat lainnya yang dicurigai
mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa.
Pasal 31
(1) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi
dilarang menyebut nama atau alamatpelapor, atau hal-hal lain yang memberikan
kemungkinan dapat diketahuinya identitaspelapor.
(2) Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.
Pasal 32
(1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa
satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti,
sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara
Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang
dirugikan untuk mengajukan gugatan.
(2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi
tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.
Pasal 33
Dalam hak tersangka meninggal dunia pada saat
dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan
negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan
tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada Instansi yang
dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 34
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat
dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada
kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas
berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap
ahli warisnya.
Pasal 35
(1) Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai
saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau
suami, anak, dan cucu dari terdakwa.
(2) Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka
menghendaki dan disetujui secara tegas oleh terdakwa.
(3) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), mereka dapat memberikan keterangan sebagai saksi tanpa disumpah.
Pasal 36
Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan
martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama
yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia.
Pasal 37
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa
ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia
tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan
sebagai hal yang menguntungkan baginya.
(3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan.
(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang
kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambah
kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat
bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
(5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya.
Pasal 38
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah,
dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat
diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya
sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan
saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai
diucapkan dalam sidang yang sekarang.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa
diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah
Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
(4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding
atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum
putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan
telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum
menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.
(6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (5) tidak dapat
dimohonkan upaya banding.
(7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan
keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 39
Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan
bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.
Pasal 40
Dalam hal terdapat cukup alasan untuk mengajukan
perkara korupsi di lingkungan Peradilan Militer, maka ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) huruf g Undangundang Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer tidak dapat diberlakukan.
BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 41
(1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diwujudkan dalam bentuk:
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari,
memperoleh dan
memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana korupsi
kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak
pidana korupsi;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara
bertanggung jawab kepada
penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana
korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan
tentang laporannya yang
diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari;
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam
hal:
1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, b, dan c;
2) diminta hadir dalam proses penyelidikan,
penyidikan, dan di sidang
pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi
ahli, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
(4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan ayat (3)
dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas
atau ketentuan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
dengan menaati norma
agama dan norma sosial lainnya.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran
serta masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 42
(1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota
masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau
pengungkapan tindak pidana korupsi.
(2) Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih Lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 43
(1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak
Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
(2) Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan
organisasi, tata kerja,
pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta
keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Undang-undang.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 45
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
UU RI NOMOR 20 TAHUN 2001
Pasal I
Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai
berikut:
1. Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal
diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi
Pasal angka 1 Undang-undang ini.
2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak
mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana tetapi langsung
menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang-undang
Hukum Pidana yang diacu, sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai
negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai
negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak
berbuat sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang menerima pemberian
atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
a atau huruf b, dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
Pasal 6
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 750.000.000,00 (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim
dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk
diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang
yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat
untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud
untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima
pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00
(tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat
bangunan, atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan
bahan
bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara
dalam keadaan
perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan
atau penyerahan
bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang
keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan
negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan
barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian
Negara Republik
Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana
dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan
bangunan atau orang yang
menerima penyerahan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan
perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau
huruf c, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang
selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara
terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau
surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil
atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan
tersebut.
Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau
untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku buku atau daftar-daftar yang
khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga
ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau
untuk sementara waktu, dengan sengaja:
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang
digunakan untuk meyakinkan atau
membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang
dikuasai karena
jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat,
atau daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat,
atau daftar tersebut.
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawainegeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui
atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang
menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan
dengan jabatannya.
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
atau janji tersebut diberikan
untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut
diberikan sebagai akibat
atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan,
menerima hadiah atau
janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut
untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan, berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, atau
dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa
seseorang memberikan
sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
pada waktu menjalankan
tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran
kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang lain atau
kepada kas umum, seolaholah
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain
atau kas umum
tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal
diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
pada waktu menjalankan
tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang, seolaholah
merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui
bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
pada waktu menjalankan
tugas, telah menggunakan tanah negara yang di
atasnya terdapat hak pakai,
seolah-olah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, telah merugikan
orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa
perbuatan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik
langsung maupun tidak
langsung dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan, atau
persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk
seluruh atau sebagian
ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.”
3. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3
(tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal
12 B, dan Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 12A
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang
nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya
kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 12B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan
ketentuan sebagai
berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan
oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan
oleh penuntut
umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara
negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur
hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun,
dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal 12C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B
ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya
kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib dilakukan
oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan
wajib menetapkan
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik
negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.”
4. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1
(satu) pasal baru menjadi Pasal 26 A yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 26A
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat
diperoleh dari:
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang
diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi
yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan
atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas,
maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa
tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau
perforasi yang memilikimakna.”
5. Pasal 37 dipecah menjadi 2 (dua) pasal yakni
menjadi Pasal 37 dan Pasal 37 A dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pasal 37 dengan substansi yang berasal dari ayat
(1) dan ayat (2) dengan
penyempurnaan pada ayat (2) frase yang berbunyi
"keterangan tersebut
dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan
baginya" diubah menjadi
"pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan
sebagai dasar untuk
menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti",
sehingga bunyi keseluruhan Pasal
37 adalah sebagai berikut:
“Pasal 37
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa
ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia
tidak melakukan tindak
pidana korupsi, maka pembuktian tersebut
dipergunakan oleh pengadilan
sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak
terbukti.”
b. Pasal 37 A dengan substansi yang berasal dari
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
dengan penyempurnaan kata "dapat" pada
ayat (4) dihapus dan penunjukan
ayat (1) dan ayat (2) pada ayat (5) dihapus, serta
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
masing-masing berubah menjadi ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), sehingga
bunyi keseluruhan Pasal 37 A adalah sebagai berikut:
“Pasal 37A
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang
seluruh harta bendanya dan
harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda
setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan
perkara yang
didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan
tentang kekayaan yang tidak
seimbang dengan penghasilannya atau sumber
penambahan kekayaannya,
maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
digunakan untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa
telah melakukan
tindak pidana korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) merupakan
tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan
Pasal 16 Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan
Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini,
sehingga penuntut umum
tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.”
6. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 ditambahkan 3
(tiga) pasal baru yakni Pasal 38 A, Pasal 38 B, dan Pasal 38 C yang seluruhnya
berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 38A
Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B
ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 38B
(1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu
tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal
4, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5
sampai dengan Pasal 12
Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya
terhadap harta benda
miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga
berasal dari tindak pidana
korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa
harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan
karena tindak pidana
korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh
juga dari tindak pidana
korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau
sebagian harta benda
tersebut dirampas untuk negara.
(3) Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2)
diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan
tuntutannya pada
perkara pokok.
(4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) bukan
berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh
terdakwa pada saat
membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan
dapat diulangi pada
memori banding dan memori kasasi.
(5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus
untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4).
(6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan
lepas dari segala tuntutan
hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan
harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
harus ditolak oleh hakim.
Pasal 38C
Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap,
diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana
yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum
dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat
(2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau
ahli warisnya.”
7.
Di antara Bab VI dan
Bab VII ditambah bab baru yakni Bab VI A mengenai Ketentuan
Peralihan yang berisi 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43
A yang diletakkan di antara Pasal
43 dan Pasal 44 sehingga keseluruhannya berbunyi
sebagai berikut:
“BAB VIA
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43A
(1) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan
maksimum pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan
dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undangundang ini
dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Ketentuan minimum pidana penjara dalam Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13
Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi tidak
berlaku bagi tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum
berlakunya Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
(3) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum
Undang-undang ini diundangkan,diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
dengan ketentuan mengenai maksimum pidana penjara bagi tindak pidana korupsi
yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) berlaku ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 A ayat (2) Undang-undang ini.”
8. Dalam BAB VII sebelum Pasal 44 ditambah 1 (satu)
pasal baru yakni Pasal 43 B yang
berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 43B
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Pasal
209, Pasal 210, Pasal 387,Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418,
Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana jis. Undang undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana (Berita Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-undang Nomor 73 Tahun
1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidan untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan
Negara,dinyatakan tidak berlaku.”
Pasal II
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
UU RI NOMOR 28 TAHUN 1999
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang
menjalankan fungsi eksekutif,legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang
fungsi dan tugas pokoknya berkaitandengan penyelenggaraan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundanganyang berlaku.
2. Penyelenggara Negara yang bersih adalah
Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan
bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perbuatan tercela
lainnya.
3. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak
pidana korupsi.
4. Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara
melawan hukum antar
Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara
Negara dan pihak lain yang
merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.
5. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara
Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau
kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
6. Asas Umum Pemerintahan Negara Yang Baik adalah
asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk
mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme.
7. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang
selanjutnya disebut Komisi Pemeriksa adalah lembaga independen yang bertugas
untuk memeriksa kekayaan Penyelenggara Negara dan mantan Penyelenggara Negara
untuk mencegah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
BAB II
PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 2
Penyelenggara Negara meliputi:
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam
kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB III
ASAS UMUM PENYELENGGARAAN NEGARA
Pasal 3
Asas-asas Umum penyelenggaraan negara meliputi:
1. Asas Kepastian Hukum;
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
3. Asas Kepentingan Umum;
4. Asas Keterbukaan;
5. Asas Proporsionalitas;
6. Asas Profesionalitas, dan
7. Asas Akuntabilitas.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 4
Setiap Penyelenggara Negara berhak untuk:
1. menerima gaji, tunjangan dan fasilitas lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. menggunakan hak jawab terhadap setiap teguran, tindakan
dari atasannya, ancaman hukuman, dan kritik masyarakat;
3. menyampaikan pendapat di muka umum secara
bertanggung jawab sesuai dengan wewenangnya; dan
4. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk:
1. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan
agamanya sebelum memangku jabatannya;
2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama,
dan setelah menjabat;
3. melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum
dan setelah menjabat;
4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan
nepotisme;
5. melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku,
agama, ras, dan golongan;
6. melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung
jawab dan tidak melakukan
perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk
kepentingan pribadi, keluarga, kroni,
maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan
dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
7. bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi,
dan nepotisme serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 6
Hak dan kewajiban Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 dan Pasal 5 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Dasar 1945 dan peraturanperundang-undangan yang berlaku.
BAB V
HUBUNGAN ANTAR PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 7
(1) Hubungan antar Penyelenggara Negara dilaksanakan
dengan menaati norma-norma kelembagaan, kesopanan, kesusilaan, dan etika yang
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
(2) Hubungan antar Penyelenggara Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berpegang teguh pada asas-asas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 8
(1) Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
negara merupakan hak dan
tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan
Penyelenggara Negara yang bersih.
(2) Hubungan antar Penyelenggara Negara dan
masyarakat dilaksanakan dengan
berpegang teguh pada asas-asas umum penyelenggaraan
negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3.
Pasal 9
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 diwujudkan dalam bentuk:
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
tentang
penyelenggaraan negara;
b. hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil
dari PenyelenggaraNegara;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara
bertanggung jawab terhadap
kebijakan Penyelenggara Negara; dan
d. hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1. melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, b, dan c;
2. diminta hadir dalam proses penyelidikan,
penyidikan, dan di sidang
pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi
ahli, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan
menaati norma agama dan norma sosial lainnya.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran
serta masyarakat dalam
penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KOMISI PEMERIKSA
Pasal 10
Untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih
dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, Presiden selaku Kepala Negara
membentuk Komisi Pemeriksa.
Pasal 11
Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
merupakan lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden
selaku Kepala Negara.
Pasal 12
(1) Komisi Pemeriksa mempunyai fungsi
untuk mencegah praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme dalam penyelenggaraan negara.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Komisi Pemeriksa dapat melakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga
terkait baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Pasal 13
(1) Keanggotaan Komisi Pemeriksa terdiri atas unsur
Pemerintah dan masyarakat.
(2) Pengangkatan dan pemberhentian Anggota Komisi
Pemeriksa ditetapkan dengan
Keputusan Presiden setelah mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat sebagai Anggota Komisi
Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 seorang calon Anggota
serendah-rendahnya berumur 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya
berumur 75 (tujuh puluh lima) tahun.
(2) Anggota Komisi Pemeriksa diberhentikan dalam
hal:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Anggota Komisi Pemeriksa diangkat untuk masa
jabatan selama 5 (lima) tahun dansetelah berakhir masa jabatannya dapat
diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(4) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan
serta pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa terdiri
atas seorang Ketua merangkap Anggota, 4 (empat) orang Wakil Ketua merangkap
Anggota dan sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang Anggota yang terbagi dalam
4 (empat) Sub Komisi.
(2) Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemeriksa dipilih
oleh dan dari para Anggota berdasarkan musyawarah mufakat.
(3) Empat Sub Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) terdiri atas:
a. Sub Komisi Eksekutif;
b. Sub Komisi Legislatif;
c. Sub Komisi Yudikatif; dan
d. Sub Komisi Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha
Milik Daerah.
(4) Masing-masing Anggota Sub Komisi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) diangkat sesuai dengan keahliannya dan bekerja secara kolegial.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya Komisi Pemeriksa
dibantu oleh Sekretariat Jenderal.
(6) Komisi Pemeriksa berkedudukan di Ibukota Negara
Republik Indonesia.
(7) Wilayah kerja Komisi Pemeriksa meliputi seluruh
wilayah Negara Republik Indonesia.
(8) Komisi Pemeriksa membentuk Komisi Pemeriksa di
daerah yang ditetapkan denganKeputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 16
(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua,
dan Anggota Komisi Pemeriksa mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya,
yang berbunyi sebagai berikut:
"Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya senantiasa
akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh, jujur, berani,
adil, tidak membedabedakan jabatan, suku, agama, ras dan golongan dari Penyelenggara
Negara yang saya periksa, dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya,
serta bertanggungjawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat,
bangsa dan negara".
"Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas dan wewenang saya ini, tidak
akan menerima langsung atautidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau
pemberian".
"Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya akan
mempertahankan dan mengamalkan Pancasila sebagai Dasar Negara, melaksanakan
Undang-Undang Dasar 1945, dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku
bagi negara Republik Indonesia".
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diucapkan di hadapan Presiden.
Pasal 17
(1) Komisi Pemeriksa mempunyai tugas dan wewenang
untuk melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan Penyelenggara Negara.
(2) Tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah:
a. melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta
kekayaan Penyelenggara
Negara;
b. meneliti laporan atau pengaduan masyarakat,
lembaga swadaya masyarakat,
atau instansi pemerintah tentang dugaan adanya
korupsi, kolusi, dan
nepotisme dari para Penyelenggara Negara;
c. melakukan penyelidikan atas inisiatif sendiri
mengenai harta kekayaan
Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya
korupsi, kolusi, dan
nepotisme terhadap Penyelenggara Negara yang
bersangkutan;
d. mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan
saksi-saksi untuk
penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga
melakukan korupsi, kolusi,
dan nepotisme atau meminta dokumen-dokumen dari
pihak-pihak yang terkait
dengan penyelidikan harta kekayaan Penyelenggara
Negara yang
bersangkutan;
e. jika dianggap perlu, selain meminta bukti
kepemilikan sebagian atau seluruh
harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga
diperoleh dari korupsi,
kolusi dan nepotisme selama menjabat sebagai
Penyelenggara Negara, juga
meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan
tersebut sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sebelum, selama, dan setelah yang
bersangkutan menjabat.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan
kekayaan Penyelenggara Negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Hasil pemeriksaan Komisi Pemeriksa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 disampaikan kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat,
dan Badan Pemeriksa Keuangan.
(2) Khusus hasil pemeriksaan atas kekayaan Penyelenggara
Negara yang dilakukan oleh Sub Komisi Yudikatif, juga disampaikan kepada
Mahkamah Agung.
(3) Apabila dalam hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditemukan petunjuk adanya korupsi, kolusi, atau nepotisme, maka
hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk
ditindaklanjuti.
Pasal 19
(1) Pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan tugas
dan wewenang Komisi Pemeriksa dilakukan oleh Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemantauan dan evaluasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 20
(1) Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1, 2, 3, 5 atau 6 dikenakan
sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 5 angka 4 atau 7 dikenakan sanksi
pidana dan atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 21
Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa
yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Pasal 22
Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa
yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah).
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
Dalam waktu selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak
Undang-undang ini mulai berlaku, setiap Penyelenggara Negara harus melaporkan
dan mengumumkan harta kekayaan dan bersedia dilakukan pemeriksaan terhadap
kekayaan sesuai dengan ketentuan dalamUndang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Undang-undang ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
8.Cara pencegahan tindakan korupsi
ü Sejarah Pemberantasan
Korupsi
Pemberantasan korupsi di
Indonesia sebenarnya telah berjalan cukup lama, bahkan nyaris setua umur
Republik ini berdiri. Berbagai upaya represif dilakukan terhadap para pejabat
publik atau penyelenggara negara yang terbukti melakukan korupsi. Sudah tidak terhitung
telah berapa banyak pejabat negara yang merasakan getirnya hidup di hotel
prodeo.
Berdasarkan sejarah, selain KPK yang terbentuk di tahun 2003, terdapat 6 lembaga pemberantasan korupsi yang sudah dibentuk di negara ini yakni; (i) Operasi Militer di tahun 1957, (ii) Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, (iii) Operasi Tertib pada tahun 1977, (iv) tahun 1987 dengan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak, (v) dibentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999, dan (vi) tahun 2005 dibentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor).
Kebijakan pencegahan juga telah diupayakan oleh pemerintah. Peningkatan transparansi dari penyelenggara negara telah menjadi perhatian pemerintah bahkan sejak tahun 1957. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1957 melalui Kepres No. 48/1957 Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution selaku penguasa militer menetapkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Salah satu aspek penting dalam peraturan tersebut adalah membentuk suatu unit kerja yang bertugas menilik harta benda setiap orang yang disangka, didakwa atau sepatutnya disangka melakukan korupsi, termasuk harta benda suami, istri, anak atau badan/institusi yang diurus oleh orang tersebut. Pada masa orde baru, lahir Keppres No. 52/1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi Pejabat Negara/Pegawai Negeri/ABRI. Di orde reformasi dengan adanya UU no. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih KKN dibentuklah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Dalam tugasnya KPKPN berhasil meletakkan landasan yang baik bagi mekanisme pelaporan kekayaan penyelenggara negara secara komprehensif.
Berbagai kebijakan dan lembaga pemberantasan yang telah ada tersebut ternyata tidak cukup membawa Indonesia menjadi negara yang bersih dari korupsi. Berdasarkan kondisi dimana Indonesia tetap dicap sebagai salah satu negara terkorup di dunia tentunya ada beberapa hal yang kurang tepat dalam pelaksanaan kebijakan atau pun kinerja dari lembaga pemberantasan korupsi tersebut.
Tidak berjalannya program-program pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini lebih banyak dikarenakan; (i) dasar hukum untuk melaksanakan tugas dan fungsi dalam pemberantasan korupsi tidak kuat, (ii) program pemberantasan korupsi tidak dilakukan secara sistematis dan terintegrasi, (iii) sebagian lembaga yang dibentuk tidak punya mandat atau tidak melakukan program pencegahan, sementara penindakan tindak pidana korupsi dilaksanakan secara sporadis, sehingga tidak menyurutkan pelaku korupsi lain dalam melakukan pelanggaran yang sama, (iv) masyarakat mempunyai persepsi bahwa lembaga anti korupsi yang dibentuk berafiliasi kepada golongan/partai tertentu sehingga masyarakat tidak mempercayai keberhasilan lembaga tersebut dalam memberantas korupsi, (v) tidak mempunyai sistem sumber daya manusia yang baik, sistem rekrutmennya tidak transparan, program pendidikan dan pelatihan tidak dirancang untuk meningkatkan profesionalisme pegawai dalam bekerja, sehingga SDM yang ada pada lembaga tersebut tidak memiliki kompetensi yang cukup dalam melaksanakan tugas dalam pemberantasan korupsi, (vi) tidak didukung oleh sistem manajemen keuangan yang transparan dan akuntabel. Sistem penggajian pegawai yang tidak memadai, mekanisme pengeluaran anggaran yang tidak efisien dan pengawasan penggunaan anggaran yang lemah, (vii) lembaga dimaksud menjalankan tugas dengan benar hanya pada tahun pertama dan kedua, maka setelah itu menjadi lembaga pemberantas korupsi yang korup dan akhirnya dibubarkan.
Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tahun 2003 dengan lingkup tugas dan fungsi meliputi koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, monitoring, berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 2002, berusaha untuk tidak mengulang kegagalan lembaga-lembaga sebelumnya.
Berdasarkan sejarah, selain KPK yang terbentuk di tahun 2003, terdapat 6 lembaga pemberantasan korupsi yang sudah dibentuk di negara ini yakni; (i) Operasi Militer di tahun 1957, (ii) Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, (iii) Operasi Tertib pada tahun 1977, (iv) tahun 1987 dengan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak, (v) dibentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999, dan (vi) tahun 2005 dibentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor).
Kebijakan pencegahan juga telah diupayakan oleh pemerintah. Peningkatan transparansi dari penyelenggara negara telah menjadi perhatian pemerintah bahkan sejak tahun 1957. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1957 melalui Kepres No. 48/1957 Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution selaku penguasa militer menetapkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Salah satu aspek penting dalam peraturan tersebut adalah membentuk suatu unit kerja yang bertugas menilik harta benda setiap orang yang disangka, didakwa atau sepatutnya disangka melakukan korupsi, termasuk harta benda suami, istri, anak atau badan/institusi yang diurus oleh orang tersebut. Pada masa orde baru, lahir Keppres No. 52/1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi Pejabat Negara/Pegawai Negeri/ABRI. Di orde reformasi dengan adanya UU no. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih KKN dibentuklah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Dalam tugasnya KPKPN berhasil meletakkan landasan yang baik bagi mekanisme pelaporan kekayaan penyelenggara negara secara komprehensif.
Berbagai kebijakan dan lembaga pemberantasan yang telah ada tersebut ternyata tidak cukup membawa Indonesia menjadi negara yang bersih dari korupsi. Berdasarkan kondisi dimana Indonesia tetap dicap sebagai salah satu negara terkorup di dunia tentunya ada beberapa hal yang kurang tepat dalam pelaksanaan kebijakan atau pun kinerja dari lembaga pemberantasan korupsi tersebut.
Tidak berjalannya program-program pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini lebih banyak dikarenakan; (i) dasar hukum untuk melaksanakan tugas dan fungsi dalam pemberantasan korupsi tidak kuat, (ii) program pemberantasan korupsi tidak dilakukan secara sistematis dan terintegrasi, (iii) sebagian lembaga yang dibentuk tidak punya mandat atau tidak melakukan program pencegahan, sementara penindakan tindak pidana korupsi dilaksanakan secara sporadis, sehingga tidak menyurutkan pelaku korupsi lain dalam melakukan pelanggaran yang sama, (iv) masyarakat mempunyai persepsi bahwa lembaga anti korupsi yang dibentuk berafiliasi kepada golongan/partai tertentu sehingga masyarakat tidak mempercayai keberhasilan lembaga tersebut dalam memberantas korupsi, (v) tidak mempunyai sistem sumber daya manusia yang baik, sistem rekrutmennya tidak transparan, program pendidikan dan pelatihan tidak dirancang untuk meningkatkan profesionalisme pegawai dalam bekerja, sehingga SDM yang ada pada lembaga tersebut tidak memiliki kompetensi yang cukup dalam melaksanakan tugas dalam pemberantasan korupsi, (vi) tidak didukung oleh sistem manajemen keuangan yang transparan dan akuntabel. Sistem penggajian pegawai yang tidak memadai, mekanisme pengeluaran anggaran yang tidak efisien dan pengawasan penggunaan anggaran yang lemah, (vii) lembaga dimaksud menjalankan tugas dengan benar hanya pada tahun pertama dan kedua, maka setelah itu menjadi lembaga pemberantas korupsi yang korup dan akhirnya dibubarkan.
Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tahun 2003 dengan lingkup tugas dan fungsi meliputi koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, monitoring, berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 2002, berusaha untuk tidak mengulang kegagalan lembaga-lembaga sebelumnya.
Fakta Korupsi di Indonesia
Kondisi korupsi di Indonesia masuk dalam kategori kronis dari waktu ke
waktu, karena secara umum sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia
masih belum berorientasi sepenuhnya terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip tata
kelola pemerintahan yang baik (good governance). Oleh karenanya tidak
mengherankan bila Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berdasarkan survey
Transparansi Internasional, memperoleh indeks pada kisaran angka 2 dari tahun
2004 hingga tahun 2007. IPK hingga saat ini diyakini sebagai pendekatan yang
sah untuk melihat tingkat korupsi di suatu negara.
Berdasarkan studinya Transparansi Indonesia rendahnya IPK Indonesia disebabkan oleh adanya praktek korupsi dalam urusan layanan pada bidang bisnis, antara lain meliputi ijin-ijin usaha (ijin domisili, ijin usaha, HGU, IMB, ijin ekspor, angkut barang, ijin bongkar muat barang,), pajak (restitusi pajak, penghitungan pajak, dispensasi pajak), pengadaan barang dan jasa pemerintah (proses tender, penunjukkan langsung), proses pengeluaran dan pemasukan barang di pelabuhan (bea cukai), pungutan liar oleh polisi, imigrasi, tenaga kerja, proses pembayaran termin proyek dari KPKN (Kantor Perbendaharaan Kas Negara).
Hasil dari studi yang dilakukan TI ini sejalan dengan Studi Integritas yang dilakukan oleh Direktorat Litbang KPK di tahun 2007. Bahwa unit-unit layanan tersebut seperti Pajak, Bea cukai, layanan ketenagakerjaan, dan keimigrasian masih memperoleh nilai skor integritas yang rendah. Dengan rentang nilai 0-10, layanan TKI di terminal 3 memiliki skor integritas yang rendah yakni 3,45 sementara layanan pajak mempunyai skor yang sedikit lebih baik yakni 5,96. Skor integritas unit layanan yang ada di Indonesia ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan di negara lain seperti Korea. Di Korea, rata-rata skor integritas sudah berada di 7 dan telah banyak unit layanan yang memiliki nilai integritas di atas 8 bahkan sudah ada yang mencapai nilai 9.
Ironisnya, berdasarkan studi ini, justru rendahnya kualitas layanan yang diterima publik selama ini menyebabkan tumbuhnya persepsi dalam masyarakat (pengguna layanan) bahwa pemberian imbalan merupakan hal yang wajar dalam proses pengurusan pelayanan. Pemberian imbalan saat pengurusan layanan dianggap sebagian besar responden dalam penelitian ini sebagai tanda terima kasih atas pelayanan yang diberikan. Artinya mereka kurang memahami bahwa layanan yang mereka terima tersebut merupakan hak yang memang seharusnya mereka terima, sementara pemberi layanan memang memiliki kewajiban dan tugas untuk memberi layanan kepada mereka. Kekurangpahaman masyarakat terhadap tugas dan kewajiban pemberi layanan membuat mereka merasa berhutang budi sehinga mereka membalas layanan yang telah mereka terima dengan memberikan imbalan kepada pemberi layanan tersebut.
Attitude atau perilaku dalam menerima mau pun memberikan suap, kejahatan korupsi yang melibatkan perbankan, pengadaan barang dan jasa secara nasional yang korup, money politic, money laundering, korupsi oleh penegak hukum merupakan kasus korupsi di Indonesia yang harus ditangani lebih efektif. Semua informasi tersebut merupakan kondisi riil tentang luas dan kompleksnya korupsi di Indonesia yang membutuhkan Strategi Pemberantasan Korupsi yang Sistemik.
Berdasarkan studinya Transparansi Indonesia rendahnya IPK Indonesia disebabkan oleh adanya praktek korupsi dalam urusan layanan pada bidang bisnis, antara lain meliputi ijin-ijin usaha (ijin domisili, ijin usaha, HGU, IMB, ijin ekspor, angkut barang, ijin bongkar muat barang,), pajak (restitusi pajak, penghitungan pajak, dispensasi pajak), pengadaan barang dan jasa pemerintah (proses tender, penunjukkan langsung), proses pengeluaran dan pemasukan barang di pelabuhan (bea cukai), pungutan liar oleh polisi, imigrasi, tenaga kerja, proses pembayaran termin proyek dari KPKN (Kantor Perbendaharaan Kas Negara).
Hasil dari studi yang dilakukan TI ini sejalan dengan Studi Integritas yang dilakukan oleh Direktorat Litbang KPK di tahun 2007. Bahwa unit-unit layanan tersebut seperti Pajak, Bea cukai, layanan ketenagakerjaan, dan keimigrasian masih memperoleh nilai skor integritas yang rendah. Dengan rentang nilai 0-10, layanan TKI di terminal 3 memiliki skor integritas yang rendah yakni 3,45 sementara layanan pajak mempunyai skor yang sedikit lebih baik yakni 5,96. Skor integritas unit layanan yang ada di Indonesia ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan di negara lain seperti Korea. Di Korea, rata-rata skor integritas sudah berada di 7 dan telah banyak unit layanan yang memiliki nilai integritas di atas 8 bahkan sudah ada yang mencapai nilai 9.
Ironisnya, berdasarkan studi ini, justru rendahnya kualitas layanan yang diterima publik selama ini menyebabkan tumbuhnya persepsi dalam masyarakat (pengguna layanan) bahwa pemberian imbalan merupakan hal yang wajar dalam proses pengurusan pelayanan. Pemberian imbalan saat pengurusan layanan dianggap sebagian besar responden dalam penelitian ini sebagai tanda terima kasih atas pelayanan yang diberikan. Artinya mereka kurang memahami bahwa layanan yang mereka terima tersebut merupakan hak yang memang seharusnya mereka terima, sementara pemberi layanan memang memiliki kewajiban dan tugas untuk memberi layanan kepada mereka. Kekurangpahaman masyarakat terhadap tugas dan kewajiban pemberi layanan membuat mereka merasa berhutang budi sehinga mereka membalas layanan yang telah mereka terima dengan memberikan imbalan kepada pemberi layanan tersebut.
Attitude atau perilaku dalam menerima mau pun memberikan suap, kejahatan korupsi yang melibatkan perbankan, pengadaan barang dan jasa secara nasional yang korup, money politic, money laundering, korupsi oleh penegak hukum merupakan kasus korupsi di Indonesia yang harus ditangani lebih efektif. Semua informasi tersebut merupakan kondisi riil tentang luas dan kompleksnya korupsi di Indonesia yang membutuhkan Strategi Pemberantasan Korupsi yang Sistemik.
Strategi Pemberantasan Korupsi
Kegagalan strategi pemberantasan korupsi di masa lalu adalah pelajaran bagi
bangsa untuk menetapkan langkah ke depan strategi dalam pemberantasan korupsi.
Pemberantasan korupsi idealnya harus mengandung dua unsur, yaitu penindakan dan
pencegahan. Dua unsur tersebut harus diusahakan agar dapat berjalan seiring
saling melengkapi yakni korupsi harus dipetakan secara seksama dan dicari akar
permasalahannya kemudian dirumuskan konsepsi pencegahannya. Sementara tidak
pidana korupsi yang terus berlangsung harus dilakukan penegakan hukum secara
konsisten, profesional agar pelanggaran serupa tidak terjadi lagi di kemudian
hari. Apabila pendekatan tersebut dapat dilaksanakan secara konsisten, maka
diharapkan pemberantasan korupsi dapat diwujudkan dengan lebih efektif,
sistemik, berdaya guna, dan berhasil guna.
Bidang Pencegahan
·
Pembentukan Integritas Bangsa
Mengingat begitu luas dan
kompleksnya korupsi di Indonesia, salah satu kesimpulan yang bisa diambil
adalah bahwa integritas bangsa Indonesia saat ini masih rendah. Dibutuhkan
upaya untuk membentuk integritas bangsa. Upaya ini tentunya tidak mudah,
diperlukan jangka waktu yang panjang dan konsistensi dalam pelaksanaannya.
Pembentukan integritas bangsa dapat dimulai dari pelaksanaan pendidikan anti korupsi dengan target semua usia mulai dari usia anak-anak hingga dewasa. Kita menyadari bahwa pembentukan mental dan kepribadian seseorang dimulai sejak dini sehingga penyusunan kurikulum anti korupsi untuk dimasukkan dalam kurikulum sekolah formal di Indonesia mulai digalakkan. Kampanye dan Training For Trainers (TOT) dengan materi anti korupsi harus terus diupayakan.
Disadari bahwa kampanye dan pendidikan anti korupsi tidak semata-mata dapat menunjang keberhasilan pembentukan integritas bangsa. Kampanye dan pendidikan antikorupsi penting namun hanya sebagian kecil telah dilakukan dalam rangka tumbuhnya awareness antikorupsi.
Perbaikan sistem untuk lebih transparan dan accountable, perbaikan remunerasi, perbaikan pengawasan merupakan salah satu dari strategi yang harus dilakukan untuk menciptakan supply dalam pembentukan integritas bangsa. Untuk terciptanya pembentukan integritas bangsa yang bebas korupsi, supply yang telah disiapkan segala program yang dilakukan pemerintah tidak akan bermanfaat banyak jika tidak ada demand dari masyarakat. Yang dimaksud dengan demand di sini adalah penolakan terhadap lingkungan dan perilaku yang koruptif. Penolakan terhadap lingkungan dan perilaku yang koruptif ini hanya dapat muncul jika telah ada awareness.
Jika supply dan demand telah siap, akan terciptalah akulturasi yang menyatukan kesiapan sistem dan awareness antikorupsi di masyarakat. Akulturasi merupakan jalan dari terciptanya pembentukan integritas bangsa yang bebas dari korupsi.
Pembentukan integritas bangsa dapat dimulai dari pelaksanaan pendidikan anti korupsi dengan target semua usia mulai dari usia anak-anak hingga dewasa. Kita menyadari bahwa pembentukan mental dan kepribadian seseorang dimulai sejak dini sehingga penyusunan kurikulum anti korupsi untuk dimasukkan dalam kurikulum sekolah formal di Indonesia mulai digalakkan. Kampanye dan Training For Trainers (TOT) dengan materi anti korupsi harus terus diupayakan.
Disadari bahwa kampanye dan pendidikan anti korupsi tidak semata-mata dapat menunjang keberhasilan pembentukan integritas bangsa. Kampanye dan pendidikan antikorupsi penting namun hanya sebagian kecil telah dilakukan dalam rangka tumbuhnya awareness antikorupsi.
Perbaikan sistem untuk lebih transparan dan accountable, perbaikan remunerasi, perbaikan pengawasan merupakan salah satu dari strategi yang harus dilakukan untuk menciptakan supply dalam pembentukan integritas bangsa. Untuk terciptanya pembentukan integritas bangsa yang bebas korupsi, supply yang telah disiapkan segala program yang dilakukan pemerintah tidak akan bermanfaat banyak jika tidak ada demand dari masyarakat. Yang dimaksud dengan demand di sini adalah penolakan terhadap lingkungan dan perilaku yang koruptif. Penolakan terhadap lingkungan dan perilaku yang koruptif ini hanya dapat muncul jika telah ada awareness.
Jika supply dan demand telah siap, akan terciptalah akulturasi yang menyatukan kesiapan sistem dan awareness antikorupsi di masyarakat. Akulturasi merupakan jalan dari terciptanya pembentukan integritas bangsa yang bebas dari korupsi.
·
Penerapan Tata Kelola Pemerintahan yang
baik (Good Governance)
Seiring dengan telah
diberlakukannya sistem desentralisasi dalam pemerintahan Indonesia, penerapan
konsep dasar tata kelola pemerintahan yang baik, hendaknya digali dari best
practices yang telah dirancang dan diperkenalkan terlebih dahulu oleh
beberapa pemerintah provinsi/kota/kabupaten di wilayah Indonesia. Daerah-daerah
yang secara sukarela membenahi sistem administrasinya, antara lain adalah
Kabupaten Solok, Kabupaten Sragen, Kabupaten Jembrana, Kota Yogyakarta, Provinsi
Gorontalo, Kota Palangkaraya, kota Denpasar, dan beberapa daerah lainnya.
Lingkup perbaikan sistem administrasi yang mereka lakukan secara umum meliputi
perbaikan layanan publik, penegakan hukum, administrasi, keuangan, dan
partisipasi aktif dari masyarakat dengan mengacu kepada prinsip-prinsip yang
transparan, akuntabel, efisien, konsisten, partisipatif, dan responsif. Wujud
kongkrit dari penerapan tata kelola pemerintahan yang baik tersebut berupa:
1. penerapan pakta integritas bagi seluruh pegawai, dengan mengucapkan sumpah
untuk bekerja secara profesional dan secara moral rela mengundurkan diri bila
di kemudian hari terbukti menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
2. memperkenalkan layanan satu atap satu pintu (one stop services)
dengan menyederhanakan prosedur layanan, mengedepankan transparansi melalui
pengumuman persyaratan, dan besarnya biaya pengurusan baik dalam lingkup
perizinan maupun yang bukan perizinan serta waktu penyelesaian yang cepat dan
batas waktu yang jelas;
3. pencairan anggaran dengan menyederhanakan jumlah meja yang dilalui dalam
proses pengurusan pencairan anggaran;
4. pemberian tunjangan kinerja, yakni pemberian uang tambahan yang didasarkan
prestasi kerja bagi setiap individu pegawai. Sumber dana yang dapat digunakan
adalah melalui penghapusan semua honor dan memberlakukan pemberian satu honor
menyeluruh kepada pegawai yang didasarkan pengukuran atas prestasi kerja;
5. penerapan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang konsisten, penegakan
hukum yang tegas bagi yang melanggarnya. Merubah sistem pengadaan barang dan
jasa melalui sistem elektronik (e-procurement);
6. menerapkan anggaran berbasis kinerja dengan melibatkan perwakilan
masyarakat dalam menyusun rencana anggaran belanja tahunan yang didasarkan atas
kebutuhan riil daerah serta membuka akses bagi masyarakat untuk memberikan
kritik dan saran;
7. mendorong partisipasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam
memberikan masukan yang konstruktif bagi usaha pemerintah dalam membangun
masyarakat serta dalam memantau pelaksanaan program kerja pemerintah untuk
mewujudkan sistem pemerintahan yang transparan.
Dengan penerapan
prinsip-prinsip di atas terbukti daerah-daerah yang disebutkan di atas telah
berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, dengan dipadukan dengan
program yang pro terhadap investasi berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja
serta pengurangan kemiskinan. Keberhasilan di daerah-daerah tersebut harus
disebarluaskan ke daerah lain agar terwujud Indonesia yang makmur dan
berbudaya.
·
Reformasi Birokrasi
Pada dasarnya semua instansi pemerintah secara bertahap akan diarahkan
untuk melakukan reformasi birokrasi. Namun akibat terbatasnya anggaran yang
dimiliki negara perlu dilakukan pilot project terlebih dahulu,
selain untuk dievaluasi dampaknya juga untuk dijadikan pembelajaran (lesson
learn) bagi instansi lain yang akan direformasi.
Dipilihnya keempat instansi tersebut didasarkan pada pengalaman pelaksanaan reformasi birokrasi oleh negara-negara di Asia, Amerika, dan Australia. Dari pengalaman negara-negara tersebut diputuskan bahwa kriteria prioritas pilot project adalah lembaga yg mengelola keuangan (tidak seluruhnya tetapi yang rawan KKN), lembaga yang menangani pemeriksaan keuangan dan penertiban aparatur dan lembaga/aparat penegakan hukum.
Cukup banyak tahapan yang dilalui dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di sini jika diurutkan maka tiap instansi harus: (i) melakukanAnalisis Jabatan dan Evaluasi Jabatan dimana di dalamnya terdapat banyak kegiatan mulai dari penyusunan peta jabatan, job description, spesifikasi jabatan, pengukuran beban kerja, klasifikasi jabatan, persyaratan/kompetensi jabatan, job grading dan assesment pegawai;(ii) review ketatalaksanaan (business process) agar tersusun Standard Operating Procedure (SOP) yang lebih efisien dan efektif dengan mengoptimalkan teknologi informasi dan komunikasi; (iii) penilaian(assesment) status dan kebutuhan SDM; (iv) penetapan Key Performance Indicator (KPI) setiap jabatan atau unit kerja; dan (v) perumusan besaran remunerasi sesuai bobot tugas, wewenang, dan tanggung jawab (nilai jabatan) dalam rangka penegakan reward & punishment.
Tentunya proses-proses tersebut menuntut kesiapan dan membutuhkan jangka waktu yang panjang. Hingga saat ini pengalaman reformasi birokrasi yang berjalan sesuai tahapan tersebut baru dimiliki oleh Departemen Keuangan. Rezising dalam struktur organisasi dan golden shake hand bagi pegawai yang tidak lulus kompetensi merupakan beberapa kondisi yang terjadi di internal Departemen Keuangan. Peningkatan renumerasi yang kemudian diterima di Departemen Keuangan diikuti dengan perbaikan SOP dan peningkatan layanan dan juga peningkatan pengawasan. Karena seperti diakui sendiri oleh Menteri Keuangan, berapa pun peningkatan gaji yang diterima oleh pegawai di Departemen Keuangan tetap belum cukup untuk menghalangi perilaku yang korup karena begitu banyaknya godaan-godaan atau pun tawaran-tawaran suap yang berpuluh bahkan beratus kali lebih besar daripada kenaikan gaji yang diterimanya. Namun setidaknya dengan kenaikan gaji tersebut tidak ada alasan bagi pegawai di Departemen Keuangan untuk melakukan korupsi akibat desakan ekonomi (Corruption by needs).
Ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum, juga menuntut adanya perbaikan atau reformasi birokrasi di lembaga-lembaga hukum. Seperti diketahui Mahkamah Agung merupakan salah satu lembaga hukum yang dijadikan pilot project dalam penyelenggaraan reformasi birokrasi. Meski pun belum seprogresif pelaksanaan di Departemen Keuangan, Mahkamah Agung secara bertahap mulai melakukan peningkatan transparansi dan perbaikan renumerasi dan pengelolaan sumber daya manusia. Saat ini website di Mahkamah Agung telah menampilkan 1409 kasus-kasus sejak tahun 2000 yang telah diputuskan oleh MA. SK Ketua MA No. 144/2007 mengenai keterbukaan informasi di pengadilan, beberapa kegiatan peningkatan kapasitas hakim, pelatihan kode etik hakim, perbaikan fasilitas di pengadilan serta penyusunan job evaluation menjadi langkah awal MA dalam mereformasi lembaganya.
Perlahan-lahan dengan membaiknya kinerja dan transparansi MA, diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia menjadi membaik dan segera membantu terciptanya pemberantasan korupsi yang efektif di Indonesia.
KPK secara penuh mendukung secara penuh kebijakan reformasi birokrasi ini. Mengingat besarnya skala kegiatan, keuangan negara yang digunakan dan tujuan dari reformasi birokrasi ini mendorong KPK untuk terus mengawasi proses dari reformasi birokrasi ini. Jika sistem telah terbentuk dengan baik, SOP tersusun, sistem penggajian menjamin terpenuhinya tingkat kesejahteraan bagi aparatnya sehingga tidak ada alasan untuk munculnya kasus korupsi akibat desakan ekonomi, maka akan lebih mudah bagi KPK maupun aparat penegak hukum lainnya untuk menindak aparat/penyelenggara negara yang melakukan korupsi karena keserakahan (corruption by greed).
Dipilihnya keempat instansi tersebut didasarkan pada pengalaman pelaksanaan reformasi birokrasi oleh negara-negara di Asia, Amerika, dan Australia. Dari pengalaman negara-negara tersebut diputuskan bahwa kriteria prioritas pilot project adalah lembaga yg mengelola keuangan (tidak seluruhnya tetapi yang rawan KKN), lembaga yang menangani pemeriksaan keuangan dan penertiban aparatur dan lembaga/aparat penegakan hukum.
Cukup banyak tahapan yang dilalui dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di sini jika diurutkan maka tiap instansi harus: (i) melakukanAnalisis Jabatan dan Evaluasi Jabatan dimana di dalamnya terdapat banyak kegiatan mulai dari penyusunan peta jabatan, job description, spesifikasi jabatan, pengukuran beban kerja, klasifikasi jabatan, persyaratan/kompetensi jabatan, job grading dan assesment pegawai;(ii) review ketatalaksanaan (business process) agar tersusun Standard Operating Procedure (SOP) yang lebih efisien dan efektif dengan mengoptimalkan teknologi informasi dan komunikasi; (iii) penilaian(assesment) status dan kebutuhan SDM; (iv) penetapan Key Performance Indicator (KPI) setiap jabatan atau unit kerja; dan (v) perumusan besaran remunerasi sesuai bobot tugas, wewenang, dan tanggung jawab (nilai jabatan) dalam rangka penegakan reward & punishment.
Tentunya proses-proses tersebut menuntut kesiapan dan membutuhkan jangka waktu yang panjang. Hingga saat ini pengalaman reformasi birokrasi yang berjalan sesuai tahapan tersebut baru dimiliki oleh Departemen Keuangan. Rezising dalam struktur organisasi dan golden shake hand bagi pegawai yang tidak lulus kompetensi merupakan beberapa kondisi yang terjadi di internal Departemen Keuangan. Peningkatan renumerasi yang kemudian diterima di Departemen Keuangan diikuti dengan perbaikan SOP dan peningkatan layanan dan juga peningkatan pengawasan. Karena seperti diakui sendiri oleh Menteri Keuangan, berapa pun peningkatan gaji yang diterima oleh pegawai di Departemen Keuangan tetap belum cukup untuk menghalangi perilaku yang korup karena begitu banyaknya godaan-godaan atau pun tawaran-tawaran suap yang berpuluh bahkan beratus kali lebih besar daripada kenaikan gaji yang diterimanya. Namun setidaknya dengan kenaikan gaji tersebut tidak ada alasan bagi pegawai di Departemen Keuangan untuk melakukan korupsi akibat desakan ekonomi (Corruption by needs).
Ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum, juga menuntut adanya perbaikan atau reformasi birokrasi di lembaga-lembaga hukum. Seperti diketahui Mahkamah Agung merupakan salah satu lembaga hukum yang dijadikan pilot project dalam penyelenggaraan reformasi birokrasi. Meski pun belum seprogresif pelaksanaan di Departemen Keuangan, Mahkamah Agung secara bertahap mulai melakukan peningkatan transparansi dan perbaikan renumerasi dan pengelolaan sumber daya manusia. Saat ini website di Mahkamah Agung telah menampilkan 1409 kasus-kasus sejak tahun 2000 yang telah diputuskan oleh MA. SK Ketua MA No. 144/2007 mengenai keterbukaan informasi di pengadilan, beberapa kegiatan peningkatan kapasitas hakim, pelatihan kode etik hakim, perbaikan fasilitas di pengadilan serta penyusunan job evaluation menjadi langkah awal MA dalam mereformasi lembaganya.
Perlahan-lahan dengan membaiknya kinerja dan transparansi MA, diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia menjadi membaik dan segera membantu terciptanya pemberantasan korupsi yang efektif di Indonesia.
KPK secara penuh mendukung secara penuh kebijakan reformasi birokrasi ini. Mengingat besarnya skala kegiatan, keuangan negara yang digunakan dan tujuan dari reformasi birokrasi ini mendorong KPK untuk terus mengawasi proses dari reformasi birokrasi ini. Jika sistem telah terbentuk dengan baik, SOP tersusun, sistem penggajian menjamin terpenuhinya tingkat kesejahteraan bagi aparatnya sehingga tidak ada alasan untuk munculnya kasus korupsi akibat desakan ekonomi, maka akan lebih mudah bagi KPK maupun aparat penegak hukum lainnya untuk menindak aparat/penyelenggara negara yang melakukan korupsi karena keserakahan (corruption by greed).
Bidang Penindakan
Strategi total penindakan, seperti yang dulu dijalankan sejumlah
badan-badan antikorupsi, terbukti tidak efektif dalam mengatasi problem korupsi
yang sudah sistemik di Indonesia. Namun, kegiatan antikorupsi yang bersifat
penindakan harus tetap dilaksanakan. Dalam konteks Undang-Undang No. 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, terutama pasal 11 dan 12, kegiatan
penindakan meliputi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi yang "melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara
negara; mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau menyangkut
kerugian negara paling sedikit Rp satu milyar". Adanya ketentuan-ketentuan
yang mengatur kegiatan penindakan oleh KPK menekankan tetap pentingnya
aktivitas represif dalam konteks perlawanan terhadap korupsi secara nasional.
Secara umum, strategi antikorupsi KPK telah didesain sehingga berimbang dimana strategi pencegahan, penindakan, institution-building, dan penggalangan partisipasi masyarakat dapat berjalan secara sinergi. Secara spesifik, strategi penindakan difokuskan kepada aspek-aspek yang paling relevan, untuk kemudian secara periodik disusun-ulang agar dapat beradaptasi dan mengantisipasi kegiatan-kegiatan korupsi yang selalu berubah; baik karena semakin meningkatnya kompleksitas tindakan-tindakan korupsi, atau pun karena perlawanan pihak-pihak yang merasa terancam oleh kegiatan-kegiatan antikorupsi KPK.
Secara eksplisit, strategi antikorupsi KPK untuk periode 2008-2012 bertujuan "berkurangnya korupsi di Indonesia". Untuk bidang penindakan, strategi berkesinambungan yang dimulai pada tahun 2008 adalah fokus pada kegiatan penindakan kepada aparat penegakan hukum dan sektor pelayanan publik, terutama untuk meningkatkan efek jera.
Untuk periode 2010 sampai 2012, strategi di bidang penindakan akan tetap terfokus kepada peningkatan efek jera terhadap aparat penegakan hukum dan sektor pelayanan publik, ditambah orientasi kepada potensi pengembalian aset. Jadi konsep besarnya adalah terus melakukan kegiatan penindakan secara konsisten agar efek jera yang telah dicapai KPK selama 4 tahun pertama dipertahankan dan ditingkatkan; ini adalah bagian "stick" dari strategi umum KPK, dimana sosialisasi Good Governance, Good Corporate Governance, dan kegiatan pencegahan lainnya termasuk perbaikan renumerasi biasa dianggap bagian "carrot"-nya.
Aspek ‘efek jera' penindakan dapat dianggap sebagai aspek yang sudah cukup lama dikenal dalam lexicon (kosa kata) perlawanan korupsi nasional. Untuk saat ini, yang seluk-beluknya belum banyak dikenal masyarakat adalah aspek asset recovery (pengembalian aset) - mengapa aspek ini menjadi semakin penting? Apakah masyarakat juga sudah mengerti tingkat kompleksitas yang akan dihadapi Indonesia dalam melakukan asset recovery? Fokus kepada asset recovery bisa dimengerti sebagai bagian dari pertanggungjawaban KPK terhadap masyarakat. Fokus penyelamatan keuangan negara yang merupakan tugas utama dari KPK dan kewenangan yang dimiliki KPK menjadikan asset recovery sebagai bagian penting dari strategi yang dikembangkan KPK. Selain itu, asset recovery memiliki dimensi yang luas, baik di dalam negeri mau pun secara internasional mengharuskan KPK untuk segera mengupayakan berbagai persiapan dan kerjasama demi tercapainya pengembalian aset hasil korupsi sebesar-besarnya ke kas negara.
Isu utama dari asset recovery adalah bahwa pengembalian aset merupakan dimensi riil dampak korupsi. Sebagai negara berkembang yang masih bergulat dengan masalah-masalah ‘dunia ketiga' seperti kemiskinan, kelaparan dan sebagainya, ditambah munculnya berbagai bencana seperti tsunami di Aceh beberapa tahun lalu, maka merupakan hal yang memprihatinkan jika kemudian dana-dana APBN/APBD yang terbatas tersebut kemudian dicuri oleh oknum koruptor - pendek kata, pengembalian dana yang dikorup dan kemudian ditransfer ke jurisdiksi lain adalah masalah kritis yang perlu diatasi secepatnya demi kesejahteraan masyarakat sebagai target orisinil penerima dana-dana tersebut.
Hal ini juga menjadi pertimbangan utama badan-badan internasional seperti PBB dan StAR Initiative. PBB telah mencanangkan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang Korupsi. Bab V dalam UNCAC secara eksplisit mengatur supaya negara-negara anggota mengadakan kerjasama, serta menyesuaikan Undang-Undang mereka masing-masing, untuk memperlancar dan menyukseskan proses asset recovery yang dimulai oleh sebuah negara anggota.
Sementara itu, aktivitas entitas-entitas international seperti StAR Initiative, berlaku sebagai ‘support mechanism' internasional yang membantu negara-negara berkembang (terutama negara anggota peratifikasi UNCAC seperti Indonesia) untuk menegosiasikan asset recovery dengan negara-negara maju yang biasa menjadi penerima transfer dana para koruptor. Ini karena saat ini terdapat kesenjangan informasi antara negara asal dana dan negara penerima dana perihal sistem-sistem hukum, komunikasi antarnegara, dan hubungan politik masing-masing negara.
Isu lain asset recovery yang penting di Indonesia adalah dimensi politiknya. Kesuksesan KPK ke depan dalam hal pengembalian aset menjadi hal yang sangat penting dalam konteks political capital, yang akan memberikan bobot politik bagi KPK dalam konteks perpolitikan di Indonesia. Political capital ini sendiri memiliki beberapa bentuk: dukungan masyarakat secara umum yang dapat berbentuk peningkatan partisipasi masyarakat mau pun dukungan pemerintahan Indonesia dalam bentuk dukungan politik atau pun materiil. Kedua bentuk political capital ini akan saling mempengaruhi. Berdasarkan hal tersebut, dapat diasumsikan bahwa untuk mensukseskan usaha asset recovery di Indonesia, akan banyak faktor yang mempengaruhi penilaian dan harapan masyarakat dan pemerintah Indonesia. Untuk itu, dalam upaya pengembalian aset ini, KPK harus mampu me-manage harapan masyarakat yang besar di satu sisi dan kemungkinan hambatan politis di sisi lain.
Dalam merencanakan langkah-langkah asset recovery, KPK perlu mengantisipasi perspektif semua stakeholders sebagai bagian perlawanan korupsi di Indonesia termasuk perspektif internal KPK sendiri. Penting pula bagi KPK untuk mengindahkan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (yang merupakan perspektif jangka panjang) dan menyesuaikan dengan perspektif keuangan, untuk memastikan tersedianya anggaran. Karenanya, pendekatan ‘balance score card' (BSC) merupakan pendekatan yang tepat untuk digunakan dalam pelaksanaan rencana strategi KPK. Pendekatan BSC seperti ini berlaku juga dalam melaksanakan fokus terhadap peningkatan efek jera.
Selain menentukan fokus tertentu dalam strategi penindakan ke arah peningkatan efek jera dan pensuksesan usaha asset recovery, KPK juga telah menentukan fokus terhadap outcome yang diproyeksikan dari strategi penindakan. Dua fokus tersebut adalah penyelamatan kebocoran negara serta pelaksanaan strategi penindakan secara konsisten.
Secara umum, strategi antikorupsi KPK telah didesain sehingga berimbang dimana strategi pencegahan, penindakan, institution-building, dan penggalangan partisipasi masyarakat dapat berjalan secara sinergi. Secara spesifik, strategi penindakan difokuskan kepada aspek-aspek yang paling relevan, untuk kemudian secara periodik disusun-ulang agar dapat beradaptasi dan mengantisipasi kegiatan-kegiatan korupsi yang selalu berubah; baik karena semakin meningkatnya kompleksitas tindakan-tindakan korupsi, atau pun karena perlawanan pihak-pihak yang merasa terancam oleh kegiatan-kegiatan antikorupsi KPK.
Secara eksplisit, strategi antikorupsi KPK untuk periode 2008-2012 bertujuan "berkurangnya korupsi di Indonesia". Untuk bidang penindakan, strategi berkesinambungan yang dimulai pada tahun 2008 adalah fokus pada kegiatan penindakan kepada aparat penegakan hukum dan sektor pelayanan publik, terutama untuk meningkatkan efek jera.
Untuk periode 2010 sampai 2012, strategi di bidang penindakan akan tetap terfokus kepada peningkatan efek jera terhadap aparat penegakan hukum dan sektor pelayanan publik, ditambah orientasi kepada potensi pengembalian aset. Jadi konsep besarnya adalah terus melakukan kegiatan penindakan secara konsisten agar efek jera yang telah dicapai KPK selama 4 tahun pertama dipertahankan dan ditingkatkan; ini adalah bagian "stick" dari strategi umum KPK, dimana sosialisasi Good Governance, Good Corporate Governance, dan kegiatan pencegahan lainnya termasuk perbaikan renumerasi biasa dianggap bagian "carrot"-nya.
Aspek ‘efek jera' penindakan dapat dianggap sebagai aspek yang sudah cukup lama dikenal dalam lexicon (kosa kata) perlawanan korupsi nasional. Untuk saat ini, yang seluk-beluknya belum banyak dikenal masyarakat adalah aspek asset recovery (pengembalian aset) - mengapa aspek ini menjadi semakin penting? Apakah masyarakat juga sudah mengerti tingkat kompleksitas yang akan dihadapi Indonesia dalam melakukan asset recovery? Fokus kepada asset recovery bisa dimengerti sebagai bagian dari pertanggungjawaban KPK terhadap masyarakat. Fokus penyelamatan keuangan negara yang merupakan tugas utama dari KPK dan kewenangan yang dimiliki KPK menjadikan asset recovery sebagai bagian penting dari strategi yang dikembangkan KPK. Selain itu, asset recovery memiliki dimensi yang luas, baik di dalam negeri mau pun secara internasional mengharuskan KPK untuk segera mengupayakan berbagai persiapan dan kerjasama demi tercapainya pengembalian aset hasil korupsi sebesar-besarnya ke kas negara.
Isu utama dari asset recovery adalah bahwa pengembalian aset merupakan dimensi riil dampak korupsi. Sebagai negara berkembang yang masih bergulat dengan masalah-masalah ‘dunia ketiga' seperti kemiskinan, kelaparan dan sebagainya, ditambah munculnya berbagai bencana seperti tsunami di Aceh beberapa tahun lalu, maka merupakan hal yang memprihatinkan jika kemudian dana-dana APBN/APBD yang terbatas tersebut kemudian dicuri oleh oknum koruptor - pendek kata, pengembalian dana yang dikorup dan kemudian ditransfer ke jurisdiksi lain adalah masalah kritis yang perlu diatasi secepatnya demi kesejahteraan masyarakat sebagai target orisinil penerima dana-dana tersebut.
Hal ini juga menjadi pertimbangan utama badan-badan internasional seperti PBB dan StAR Initiative. PBB telah mencanangkan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang Korupsi. Bab V dalam UNCAC secara eksplisit mengatur supaya negara-negara anggota mengadakan kerjasama, serta menyesuaikan Undang-Undang mereka masing-masing, untuk memperlancar dan menyukseskan proses asset recovery yang dimulai oleh sebuah negara anggota.
Sementara itu, aktivitas entitas-entitas international seperti StAR Initiative, berlaku sebagai ‘support mechanism' internasional yang membantu negara-negara berkembang (terutama negara anggota peratifikasi UNCAC seperti Indonesia) untuk menegosiasikan asset recovery dengan negara-negara maju yang biasa menjadi penerima transfer dana para koruptor. Ini karena saat ini terdapat kesenjangan informasi antara negara asal dana dan negara penerima dana perihal sistem-sistem hukum, komunikasi antarnegara, dan hubungan politik masing-masing negara.
Isu lain asset recovery yang penting di Indonesia adalah dimensi politiknya. Kesuksesan KPK ke depan dalam hal pengembalian aset menjadi hal yang sangat penting dalam konteks political capital, yang akan memberikan bobot politik bagi KPK dalam konteks perpolitikan di Indonesia. Political capital ini sendiri memiliki beberapa bentuk: dukungan masyarakat secara umum yang dapat berbentuk peningkatan partisipasi masyarakat mau pun dukungan pemerintahan Indonesia dalam bentuk dukungan politik atau pun materiil. Kedua bentuk political capital ini akan saling mempengaruhi. Berdasarkan hal tersebut, dapat diasumsikan bahwa untuk mensukseskan usaha asset recovery di Indonesia, akan banyak faktor yang mempengaruhi penilaian dan harapan masyarakat dan pemerintah Indonesia. Untuk itu, dalam upaya pengembalian aset ini, KPK harus mampu me-manage harapan masyarakat yang besar di satu sisi dan kemungkinan hambatan politis di sisi lain.
Dalam merencanakan langkah-langkah asset recovery, KPK perlu mengantisipasi perspektif semua stakeholders sebagai bagian perlawanan korupsi di Indonesia termasuk perspektif internal KPK sendiri. Penting pula bagi KPK untuk mengindahkan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (yang merupakan perspektif jangka panjang) dan menyesuaikan dengan perspektif keuangan, untuk memastikan tersedianya anggaran. Karenanya, pendekatan ‘balance score card' (BSC) merupakan pendekatan yang tepat untuk digunakan dalam pelaksanaan rencana strategi KPK. Pendekatan BSC seperti ini berlaku juga dalam melaksanakan fokus terhadap peningkatan efek jera.
Selain menentukan fokus tertentu dalam strategi penindakan ke arah peningkatan efek jera dan pensuksesan usaha asset recovery, KPK juga telah menentukan fokus terhadap outcome yang diproyeksikan dari strategi penindakan. Dua fokus tersebut adalah penyelamatan kebocoran negara serta pelaksanaan strategi penindakan secara konsisten.
·
Penyelamatan Kebocoran Negara serta
Penindakan yang Konsisten
Seperti telah disebutkan, tingkat kebocoran negara baik kebocoran APBN/APBD
baik melalui kecurangan dalam pengadaan barang dan jasa mau pun melalui proses
lain selama empat dekade ini telah mencapai level yang sangat kritis -
dampaknya sangat terasa pada kondisi perekonomian Indonesia yang terus
terpuruk. Untuk periode 2008 - 2012, perhatian utama KPK adalah bagaimana agar
pelaksanaan strategi penindakan dapat fokus terhadap terbentuknya efek jera dan
pensuksesan asset recovery dapat menyelamatkan uang negara. Di
saat yang sama, KPK juga berkepentingan untuk memastikan bahwa pelaksanaan
strategi penindakan dilakukan secara konsisten supaya benar-benar memenuhi
mandat yang tersirat dalam UU No. 30 Tahun 2002.
Pendekatan BSC yang dipakai di KPK memerlukan pertimbangan yang holistik. Dalam konteks perspektif pemangku kepentingan(stakeholders), untuk kegiatan-kegiatan penindakan KPK, telah ditetapkan sasaran stratejik sebagai berikut:
Pendekatan BSC yang dipakai di KPK memerlukan pertimbangan yang holistik. Dalam konteks perspektif pemangku kepentingan(stakeholders), untuk kegiatan-kegiatan penindakan KPK, telah ditetapkan sasaran stratejik sebagai berikut:
1. Efektivitas Koordinasi dan Supervisi Bidang Penindakan, dengan ‘Key
Performance Indicator' (KPI): pencapaian Indeks Integritas
Lembaga Penegakan Hukum dan Pengawasan, yaitu diproyeksikan mencapai 2.5 pada
tahun 2008, 2.7 pada tahun 2009, 3.0 pada tahun 2010, 3.5 pada tahun 2011, dan
4.5 pada tahun 2012.
2. Keberhasilan Penegakan Hukum Kasus Korupsi dengan KPI: persentase
keberhasilan penanganan perkara yang diputuskan pada tingkat Pengadilan Negeri,
yaitu diproyeksikan konstan mencapai 90% selama periode 2008-2012.
3. Kepercayaan Publik kepada KPK dengan KPI rata-rata peningkatan indeks dari
angka dasar tahun 2007 yang akan diperoleh melalui survei persepsi, yaitu peningkatan
10 % setiap tahunnya selama periode 2008-2012.
Indikator-indikator tersebut telah dirancang sebagai alat ukur yang cocok
untuk menilai konsistensi pelaksanaan strategi penindakan KPK
di tahun 2008-2012 dimana penegakan hukum serta koordinasi dan supervisi atas
lembaga-lembaga penegakan hukum telah berjalan efektif, dan tercapainya
efek jera menjadi lebih mudah untuk dipantau.
Dalam konteks penyelamatan kebocoran negara, sasaran-sasaran stratejik yang dirumuskan KPK juga dirancang untuk memudahkan pemantauan dan pertanggungjawaban aktivitas-aktivitas KPK yang berfokus pada asset recovery. Contohnya, KPK dan masyarakat dapat menilai kinerja KPK dalam mensukseskan usaha asset recoverydengan melihat persentase perkara yang berhasil diputuskan di pengadilan, lalu melihat apakah kasus-kasus tersebut menyangkut usaha asset recovery.
Hal ini tentu saja baru sebagai langkah awal dalam proses asset recovery yang kompleks. Pihak penegak hukum kemudian masih bertanggung jawab untuk menegakkan putusan pengadilan di Indonesia dengan mengejar proses asset recovery di negara asing dengan cepat dan tanggap. Mengingat pertimbangan yang dilakukan melalui kacamata perspektif pemangku kepentingan, KPK tentu baru dapat meningkatkan pencapaian sasaran-sasaran stratejik ini apabila kapasitas internal KPK sendiri juga dilengkapi dengan keahlian dalam: (i) secara langsung membantu aparat-aparat penegak hukum dalam menegosiasikan proses asset recovery dengan negara asing, dan (ii) membangun pusat informasi internal tentang proses dan prosedurasset recovery yang terhimpun berdasarkan negara-negara asing yang diketahui sebagai negara penerima transfer dana milik negara yang dicuri; pusat informasi tersebut kemudian disosialisasikan dan di-share dengan aparat-aparat penegak hukum dalam usaha asset recovery mereka.
Dalam konteks perspektif internal KPK, telah ditetapkan beberapa sasaran stratejik kegiatan penindakan, yakni:
Dalam konteks penyelamatan kebocoran negara, sasaran-sasaran stratejik yang dirumuskan KPK juga dirancang untuk memudahkan pemantauan dan pertanggungjawaban aktivitas-aktivitas KPK yang berfokus pada asset recovery. Contohnya, KPK dan masyarakat dapat menilai kinerja KPK dalam mensukseskan usaha asset recoverydengan melihat persentase perkara yang berhasil diputuskan di pengadilan, lalu melihat apakah kasus-kasus tersebut menyangkut usaha asset recovery.
Hal ini tentu saja baru sebagai langkah awal dalam proses asset recovery yang kompleks. Pihak penegak hukum kemudian masih bertanggung jawab untuk menegakkan putusan pengadilan di Indonesia dengan mengejar proses asset recovery di negara asing dengan cepat dan tanggap. Mengingat pertimbangan yang dilakukan melalui kacamata perspektif pemangku kepentingan, KPK tentu baru dapat meningkatkan pencapaian sasaran-sasaran stratejik ini apabila kapasitas internal KPK sendiri juga dilengkapi dengan keahlian dalam: (i) secara langsung membantu aparat-aparat penegak hukum dalam menegosiasikan proses asset recovery dengan negara asing, dan (ii) membangun pusat informasi internal tentang proses dan prosedurasset recovery yang terhimpun berdasarkan negara-negara asing yang diketahui sebagai negara penerima transfer dana milik negara yang dicuri; pusat informasi tersebut kemudian disosialisasikan dan di-share dengan aparat-aparat penegak hukum dalam usaha asset recovery mereka.
Dalam konteks perspektif internal KPK, telah ditetapkan beberapa sasaran stratejik kegiatan penindakan, yakni:
1. Menyelenggarakan Koordinasi Penindakan Tindak Pidana Korupsi dengan KPI:
persentase peningkatan jumlah penerimaan SPDP (dari base line 2007),
yaitu diproyeksikan mencapai 20% pada tahun 2008, 30% pada tahun 2009, 40% pada
tahun 2010, 50% pada tahun 2011, dan 60% pada tahun 2012.
2. Mewujudkan Supervisi Penindakan Tindak Pidana Korupsi dengan KPI:
persentase peningkatan jumlah perkara TPK yang disupervisi yang dapat
diselesaikan oleh Kejaksaan dan Kepolisian, yaitu diproyeksikan mencapai 20%
pada tahun 2008, 30% pada tahun 2009, 40% pada tahun 2010, 50% pada tahun 2011,
dan 60% pada tahun 2012.
3. Melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang kuat dan
proaktif dengan KPI: persentase peningkatan jumlah proses penegakan hukum
terhadap TPK, yaitu diproyeksikan mencapai 30% pada tahun 2008, 35% pada tahun
2009, 40% pada tahun 2010, 45% pada tahun 2011, dan 50% pada tahun 2012.
4. Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara dengan KPI: persentase peningkatan
jumlah kerugian keuangan negara yang disetor ke kas negara, yaitu diproyeksikan
mencapai peningkatan 20% secara konsisten setiap tahunnya.
5. Melaksanakan pemeriksaan LHKPN secara efektif dengan KPI: persentase
peningkatan jumlah hasil pemeriksaan LHKPN yang dapat dilimpahkan ke direktorat
penyelidikan, gratifikasi, dan instansi lain - diproyeksikan mencapai 20% pada
tahun 2008, 30% pada tahun 2009, 40% pada tahun 2010, 50% pada tahun 2011, dan
60% pada tahun 2012.
6. Melaksanakan pemeriksaan pengaduan masyarakat yang efektif dengan KPI:
persentase peningkatan jumlah hasil pemeriksaan Direktorat Dumas yang dapat
dilimpahkan ke Direktorat Penyelidikan, yaitu diproyeksikan mencapai 20% pada
tahun 2008, 30% pada tahun 2009, 40% pada tahun 2010, 50% pada tahun 2011, dan
60% pada tahun 2012.
7. Melaksanakan pemeriksaan gratifikasi yang efektif dengan KPI: persentase
peningkatan jumlah hasil pemeriksaan gratifikasi yang dapat dilimpahkan ke
Direktorat Penyelidikan, yaitu diproyeksikan mencapai 30% pada tahun 2008, 35%
pada tahun 2009, 40% pada tahun 2010, 50% pada tahun 2011, dan 60% pada tahun
2012.
8. Dukungan informasi dan data dengan KPI: indeks kepuasan perguna, yaitu
diproyeksikan meningkat 20% pada tahun 2008, kemudian meningkat 30% setiap
tahunnya dari 2009 sampai 2012.
Dari sasaran-sasaran stratejik di atas ini, yang dilengkapi dengan KPI yang
terukur, dapat terlihat bahwa perspektif internal KPK sudah mencerminkan titik
fokus penindakan di KPK yakni menimbulkan efek jera dan pengembalian aset ke
negara.
Terdapat beberapa hal yang perlu untuk ditingkatkan secara internal di KPK, sesuai dengan fokus kepada penyelamatan pembocoran negara dan pelaksanaan kegiatan penindakan yang konsisten, diantaranya adalah (i) lancarnya dan seringnya diseminasi tentang prosedur dan proses asset recovery, melalui sistem pusat informasi internal. Sistem pusat informasi internal ini diharapkan selalu proaktif dalam ‘sharing information' kepada setiap personel operasional KPK, dan (ii) tersebarnya peraturan-peraturan yang berlaku di instansi penegak hukum yang terkait dengan kegiatan-kegiatan supervisi dan koordinasi KPK atas instansi-instansi tersebut.
Dengan memastikan lancarnya diseminasi informasi tentang peraturan-peraturan domestik dan internasional yang relevan dengan fokus strategi penindakan KPK dalam periode 2008-2012, maka peluang tercapainya kesuksesan pencapaian sasaran-sasaran stratejik KPK akan semakin besar.
Selain itu, beberapa hal yang perlu menjadi perhatian lebih KPK adalah bagaimana memastikan bahwa pencapaian sasaran-sasaran stratejik tersebut benar-benar mencerminkan usaha optimal KPK dalam mensukseskan asset recovery, sekaligus koordinasi dan supervisi penegakan hukum.
KPI yang disusun dalam rencana startegis penindakan di KPK tentunya menyertakan analisis mengenai ancaman nyata yang berasal dari perlawanan para koruptor terhadap aksi antikorupsi yang dilakukan KPK sehingga proyeksi hasil dari sasaran stratejik ini menjadi lebih realistis.
Faktor-faktor antagonistik seperti corruption fights back merupakan faktor yang turut diperhitungkan dalam penyusunan grand strategyKPK. Namun kembali ditekankan bahwa bagaimanapun juga pemberantasan korupsi yang sistemik di tubuh KPK hanya dapat dicapai jika terjadi sinergi antara ketercapaian di bidang pencegahan dan penindakan.
Terdapat beberapa hal yang perlu untuk ditingkatkan secara internal di KPK, sesuai dengan fokus kepada penyelamatan pembocoran negara dan pelaksanaan kegiatan penindakan yang konsisten, diantaranya adalah (i) lancarnya dan seringnya diseminasi tentang prosedur dan proses asset recovery, melalui sistem pusat informasi internal. Sistem pusat informasi internal ini diharapkan selalu proaktif dalam ‘sharing information' kepada setiap personel operasional KPK, dan (ii) tersebarnya peraturan-peraturan yang berlaku di instansi penegak hukum yang terkait dengan kegiatan-kegiatan supervisi dan koordinasi KPK atas instansi-instansi tersebut.
Dengan memastikan lancarnya diseminasi informasi tentang peraturan-peraturan domestik dan internasional yang relevan dengan fokus strategi penindakan KPK dalam periode 2008-2012, maka peluang tercapainya kesuksesan pencapaian sasaran-sasaran stratejik KPK akan semakin besar.
Selain itu, beberapa hal yang perlu menjadi perhatian lebih KPK adalah bagaimana memastikan bahwa pencapaian sasaran-sasaran stratejik tersebut benar-benar mencerminkan usaha optimal KPK dalam mensukseskan asset recovery, sekaligus koordinasi dan supervisi penegakan hukum.
KPI yang disusun dalam rencana startegis penindakan di KPK tentunya menyertakan analisis mengenai ancaman nyata yang berasal dari perlawanan para koruptor terhadap aksi antikorupsi yang dilakukan KPK sehingga proyeksi hasil dari sasaran stratejik ini menjadi lebih realistis.
Faktor-faktor antagonistik seperti corruption fights back merupakan faktor yang turut diperhitungkan dalam penyusunan grand strategyKPK. Namun kembali ditekankan bahwa bagaimanapun juga pemberantasan korupsi yang sistemik di tubuh KPK hanya dapat dicapai jika terjadi sinergi antara ketercapaian di bidang pencegahan dan penindakan.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Pemberantasan korupsi yang sistemik dan konsisten merupakan kunci
tercapainya visi Indonesia yang bebas korupsi. Namun meski pun merupakan hal
yang sulit, pemberantasan korupsi yang sistemik di Indonesia bukan merupakan
hal yang mustahil, terlebih dengan adanya lembaga seperti KPK yang mempunyai
kewenangan yang lengkap di bidang penindakan maupun pencegahan.
Dengan strategi pencegahan yang memperhatikan prinsip supply dan demand, dan strategi penindakan yang difokuskan pada peningkatan efek jera dan penyelamatan kebocoran keuangan negara yang dipadukan dalam suatu strategic map yang terintegrasi memberikan harapan bahwa proses pemberantasan korupsi di Indonesia dapat segera terwujud.
Meski pun KPK sudah dilengkapi dengan berbagai kewenangan dan fasilitas yang menunjang untuk menjadi focal point dalam pemberantasan korupsi yang sistemik di Indonesia, namun tetap dibutuhkan beberapa prasyarat demi tercapainya visi Indonesia yang bebas korupsi. Secara umum prasyarat keberhasilan suatu strategi pemberantasan korupsi adalah: (i) kesiapan dan keahlian dari personel penegak hukum dalam menangani kasus korupsi yang semakin sistemik dan rumit, (ii) perlunya dukungan politik yang konsisten dari pemerintah, serta (iii) perlunya dukungan masyarakat luas baik masyarakat Indonesia mau pun dukungan internasional untuk mendukung terlaksananya program antikorupsi yang telah disusun dan dipublikasikan selama ini. Pemberantasan korupsi harus diorientasikan kepada usaha penyelamatan keuangan dan kekayaan negara, memerangi kemiskinan dan keterbelakangan. Seiring dengan peringatan seratus tahun hari Kebangkitan Nasional penulis mengajak masyarakat untuk secara bersama-sama untuk memerangi korupsi dan meninggalkan perilaku koruptif demi peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia.
Dengan strategi pencegahan yang memperhatikan prinsip supply dan demand, dan strategi penindakan yang difokuskan pada peningkatan efek jera dan penyelamatan kebocoran keuangan negara yang dipadukan dalam suatu strategic map yang terintegrasi memberikan harapan bahwa proses pemberantasan korupsi di Indonesia dapat segera terwujud.
Meski pun KPK sudah dilengkapi dengan berbagai kewenangan dan fasilitas yang menunjang untuk menjadi focal point dalam pemberantasan korupsi yang sistemik di Indonesia, namun tetap dibutuhkan beberapa prasyarat demi tercapainya visi Indonesia yang bebas korupsi. Secara umum prasyarat keberhasilan suatu strategi pemberantasan korupsi adalah: (i) kesiapan dan keahlian dari personel penegak hukum dalam menangani kasus korupsi yang semakin sistemik dan rumit, (ii) perlunya dukungan politik yang konsisten dari pemerintah, serta (iii) perlunya dukungan masyarakat luas baik masyarakat Indonesia mau pun dukungan internasional untuk mendukung terlaksananya program antikorupsi yang telah disusun dan dipublikasikan selama ini. Pemberantasan korupsi harus diorientasikan kepada usaha penyelamatan keuangan dan kekayaan negara, memerangi kemiskinan dan keterbelakangan. Seiring dengan peringatan seratus tahun hari Kebangkitan Nasional penulis mengajak masyarakat untuk secara bersama-sama untuk memerangi korupsi dan meninggalkan perilaku koruptif demi peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia.
9.Pemberantassan
Korupsi Melalui Program Pembangunan.
Sebenarnya masalah korupsi bukanlah suatu hal yang baru
di Indonesia. Berbagai kebijakan telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan
pemerintahan yang bersih, bebas dari KKN. Secara faktual Majelis
Permusyawaratan Rakyat mengamanatkan dalam TAP MPR-RI Nomor XI/MPR/1989 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, yang kemudian ditindak
lanjuti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Tujuan yang ingin dicapai dalam upaya tersebut adalah
Penyelenggaraan Negara yang dilakukan oleh lembaga-lembaga Eksekutif,
Legislatif dan Yudikatif harus sesuai dengan tuntutan hati nurani rakyat, yakni
adanya penyelenggaraan negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugas secara
sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab untuk mewujudkan penyelenggaraan
negara yang bersih dan bebas dari praktek KKN di segala bidang agar dapat berdaya
guna dan berhasil guna.
Upaya pemberantasan korupsi untuk menuju terciptanya
pemerintahan yang bersih nuansanya nampak lebih kental, Untuk mencapai sasaran
pembangunan penyelenggaraan negara menuju terciptanya tata pemerintahan yang
bersih dan berwibawa teersebut, maka Presiden telah mengeluarkan Peraturan
Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Kebijakan
Penyelenggaraan Negara 2004-2009, yang diarahkan untuk :
1.
Menuntaskan
penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam benuk praktik-praktik korupsi,
kolusi dan nepotisme dengan cara :
a.
Penerapan
prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good coorporate goverance) pada semua tingkat dan lini pemerintahan
dan pada semua kegiatan;
b.
Pemberian sanksi
yang seberat-beratnya bagi pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
c.
Peningkatan
efektivitas pengawasan aparatur negara melalui koordinasi dan sinergi
pengawasan internal, eksternal dan pengawasan masyarakat;
d.
Peningkatan budaya
kerja aparatur yang bermoral, profesional, produktif dan bertanggung jawab;
e.
Peningkatan
pemberdayaan penyelenggara negara, dunia usaha dan masyarakat dalam
pemberantasan KKN.
2.
Meningkatkan
kualitas penyelenggara administrasi negara melalui:
a.
Penataan kembali
fungsi-fungsi kelembagaan pemerintahan agar dapat berfungsi secara lebih
memadai, efektif, dengan struktur lebih proposional, rmaping, luwes dan
responsif;
b.
Peningkatan
efektivitas dan efisiensi ketatalaksanaan dan prosedur pada semua tingkat dan
lini pemerintahan;
c.
Penataan dan
peningkatan kapasitas sumber daya manusia aparatur agar lebih profesional
sesuai dengan tugas dan fungsinya untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi
masyarakat;
d.
Peningkatan
kesejahteraan pegawai dan pemberlakuan sistem karier berdasarkan prestasi.
3.
Meningkatkan
keberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan dengan :
a.
Peningkatan kualitas pelayanan publik
terutama pelayanan dasar, pelayanan umum
dan pelayanan unggulan;
b.
Peningkatan kapasitas maeyarakat untuk dapat
mencukupi kebutuhan dirinya, berpartisipasii dalam proses pembangunan dan
mengawasi jalannya pemerintahan;
c.
Peningkatan transparansi, partisipasi dan
mutu pelayanan melalui peningkatan akses dan sebaran informasi.
Sedangkan sasaran khusus yang ingin dicapai adalah
1.
Berkurangnya secara
nyata praktek korupsi di birokrasi dan dimulai dari tataran (jajaran) pejabat
yang paling atas;
2.
Terciptanya sistem
kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang bersih, efisien, transparan,
profesional dan akuntabel;
3.
Terhapusnya aturan,
peraturan dan praktek yang bersifat diskrikinatif terhadap warga negara, kelompok
atau golongan masyarakat;
4.
Meningkatnya
partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik;
5.
Terjaminnya
konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah fan tidak bertentangan peraturan
dan perundangan diatasnya.
Bab III
Penutup
Kesimpulan
ü korupsi adalah
penyelewengan atau penggelapan (uang Negara, atau perusahaan, dsb) untuk
keuntungan pribadi atau orang lain.
ü tingkatan
korupsi terdiri atas Pengkhianatan
terhadap kepercayaan (betrayal of trust), Penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of power),Penyalahgunaan kekuasan untuk mendapatkankeuntungan material (material benefit).
ü Faktor
faktor penyebab korupsi itu banyak sekali.
ü Dampak
korupsi itu sangat merugikan semua pihak
ü
Prinsipanti
korupsi itu terdiri dari akuntabilitas,transparansi,kebijakan antikorupsi,fairness,dan
control kebijakan
ü
Landasan
hukum mengenai korupsi ini banyak,salah satunya yaitu UU RI no. 30 tahun 2000
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Saran
ü Pemerintah lebih bisa memberantas tindakan korupsi.
ü Pemerintah lebih serius dalam memberantas korupsi tanpa
pandang bulu.
ü Pemerintah membuat peraturan yang lebih memberi efek jera
kepada para koruptor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar